Katakamidotcom News Indonesia

BHD Berjodoh Baru, Tapi Gaji POLRI Di 2010 Tetap Pilu

https://i0.wp.com/thejakartaglobe.com/media/images/large/20091015134058124.jpg

Dimuat juga di KATAKAMIDOTCOM.WORDPRESS.COM & KATAKAMIINDONESIA.WORDPRESS.COM

Jakarta 31/12/2009 (KATAKAMI) Berjodoh baru untuk Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri menyambut tahun baru 2010 adalah mendapatkan seorang wakil yang baru dari jajaran stok lama yang ada dalam struktur organisasi POLRI.

Persis di penghujung tahun 2009, POLRI memutuskan lewat rapat Wanjak (Dewan Kepangkatan & Jabatan) bahwa pengganti Komjen Makbul Padmanegara adalah Komjen. Jusuf Manggabarani.

Jusuf Mangga yang saat ini menjabat sebagai Inspektur Jenderal Pengawasan Umum (Irwasum) akan segera dilantik tanggal 4 Januari 2010 menjadi Wakapolri.

https://i0.wp.com/matanews.com/wp-content/uploads/IrwasumPolri071009-3-590x416.jpg

Ini perjodohan yang berakhir dengan perkawinan jabatan dari Angkatan kakak adik yaitu 1974 (BHD) dan Jusuf Mangga (1975).

Setelah mengabdikan dirinya selama 35 tahun sebagai Bayangkara Negara, Komjen Makbul Padmanegara akan resmi memasuki masa purna baktinya setelah nanti jabatan Wakapolri diserah-terimakan secara resmi.

Keputusan mengangkat Jusuf Manggabarani sebenarnya sudah bisa diperkirakan sebelumnya.

Nyaris tak ada yang bisa mengimbangkan “sinar terang” dibalik nama Jusuf Manggabarani .

Jusuf Mangga adalah salah seorang yang dijadikan tangan kanan BHD dalam mengawasi kinerja POLRI. Jusuf Mangga menjadi “mata dari segala mata dan telinga dari segala telinga” bagi Kapolri untuk memastikan bahwa POLRI tetap bekerja secara proporsional dan prosefional.

Sehingga dengan adanya perjodohan BHD dan Jusuf Mangga di kursi pelaminan Tri Brata 1 dan Tri Brata 2, hal ini menjadi sebuah pemandangan yang nyaman untuk dilihat.

http://www.antarafoto.com/dom/prevw/grab.php?id=1228894798

Masuknya Jusuf Mangga ke kursi Tri Brata 2, harus menjadi jaminan yang lebih kuat mendorong perubahan dan laju reformasi birokrasi POLRI ke arah yang lebih baik.

Tetapi ada sebuah ironi yang tak bisa dihindari oleh Kapolri BHD dan Wakapolri (baru) Jusuf Manggabarani bahwa duet kepemimpinan mereka tak mampu berbuat banyak untuk mengubah nasib seluruh anggota POLRI dan keluarganya menjadi lebih sejahtera di tahun 2010.

Tidak usahlah berbicara yang muluk-muluk.

Untuk tahun 2010 yang sudah didepan mata saja, tingkat kesejahteraan POLRI masih berada dibawah garis kesejahteraan yang sesungguhnya.

Gaji atau kesejahteraan Anggota POLRI, tetap sendu, tetap mengharu-biru, tetap PILU !

Mengapa disebut PILU ?

Ya, karena gaji anggota yang berpangkat terendah sampai menengah sungguh menjadi tolak ukur bahwa kehidupan para abdi negara ini akan tetap KELABU.

Memang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memutuskan untuk menaikkan gaji TNI / POLRI sebesar 5 % per tahun 2010.

Dengan gaji bersih (take home pay) untuk tingkat bintara yang rata-rata bernominal Rp. 3.000.000 maka kenaikan gaji sebesar 5 % itu, harus dikalikan dari angka gaji pokok mereka yang tak jauh-jauh dari kisaran angka Rp. 1 jutaan.

Maka kenaikan itu hanya sebesar Rp. 50 ribu saja.

http://i673.photobucket.com/albums/vv93/kresnoyoyok/Synergy/Kaskus/Resizeof21102009054.jpg

Bandingkan dengan kebaikan dan kemurahan hati Presiden SBY membelikan mobil dinas baru (TOYOTA CROWN ROYAL SALOON) untuk barisan para Menteri dan Pejabat-Pejabat Tingggi Negara yang harganya mencapai Rp. 1,3 M per 1 unit mobil.

Mobil yang serba otomatis, ada alat pemijat di kursi dan kulkas kecil di jok kursi mewahnya, seakan menjadi belati tajam yang menikam kalbu anggota TNI dan POLRI yang cuma mendapat kenaikan gaji Rp. 50 ribu tadi untuk tahun 2010 ini.

Sulit untuk dimengerti, kemana rasionalitas dari seorang SBY ?

Jika sudah menyangkut isu aliran dana Bank Century, seorang SBY akan cepat sekali memberikan respon.

Tapi bandingkan jika menyangkut tingkat kesejahteraan anggota TNI / POLRI yang sangat minim dan memprihatinkan !

https://katakamidotcomindonesianews.wordpress.com/wp-content/uploads/2010/01/142435p.jpg?w=298

SBY seakan mati rasa.

SBY seakan tak mau tahu, betapa sendu dan pilunya hidup sebagai anggota TNI / POLRI yang sudah sangat kenyang dengan penderitaan panjang tak berkesudahan.

Lihatlah drama-drama kehidupan yang sebenarnya dari keluarga-keluarga TNI / POLRI.

Lihatlah bagaimana realita kehidupan yang serba pahit dari belenggu keterbatasan dari pundi-pundi anggota TNI / POLRI.

Sudah naiknya cuma sedikit, kenaikan gaji yang cuma seuprit yaitu sebesar 5 % tadi tak jelas efektifnya mulai tanggal atau bulan berapa tahun 2010 nanti. Renumerisasi bagi anggota TNI / POLRI masih akan dihitung.

Kritikan tajam dari berbagai pihak bahwa gaji atau tingkat kesejahteraan anggota TNI / POLRI masih tetap kecil, dikomentari berbeda oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

https://i0.wp.com/mediaindonesia.com/spaw/uploads/images/article/head/20091110_115044_bennyharmanB9-mi-susanto.jpg

Benny K. Harman, Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat mengatakan bahwa setiap tahun pasti ada peningkatan dari gaji POLRI.

“Sudah menjadi kemauan politik dari Pemerintah dan DPR tentang adanya peningkatan kesejahteraan dari lembaga-lembaga penegak hukum kita dalam rangka peningkatan juga terhadap pelayanan publik. Yang harus diingat oleh POLRI adalah kenaikan gaji itu harus diimbangi dengan reformasi internal di lembaga mereka masing-masing” demikian diungkapkan Benny K. Harman kepada KATAKAMI.COM Kamis (31/12/009).

Menurutnya, kenaikan gaji dari lembaga-lembaga penegak hukum memang tidak bisa langsung dalam jumlah yang besar karena harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.

Sementara itu, menurut Yorrys Raweyai, anggota Komisi 1 DPR-RI dari Fraksi Partai Golkar, Komisi 1 DPR-RI terus mendorong peningkatan kesejahteraan anggota TNI.

https://i0.wp.com/media.vivanews.com/thumbs2/2008/10/15/55748_yorrys_raweyai_300_225.jpg

“Kenaikan gaji atau kesejahteraan itu terus dilakukan selama 5 tahun terakhir ini tetapi harus disesuaikan dengan kemampuan APBN. Kita berupaya agar terus terjadi peningkatan gaji mereka. Malah kami usahakan agar diberikan tunjangan khusus bagi anggota TNI yang bertugas di perbatasan dan daerah-daerah terpencil” ungkap Yorrys Raweyai.

Yorrys Raweyai menambahkan bahwa untuk uang lauk-pauk TNI / POLRI sudah jauh lebih baik dari beberapa tahun terakhir ini.

“Jangan dibilang bahwa tidak ada perhatian atau tidak ada kenaikan. Kenaikan itu ada. Coba saja lihat dari uang lauk pauk. Dulu, uang lauk pauk itu hanya Rp. 15 ribu per hari. Sekarang TNI / POLRI menerima uang lauk pauk sebesar Rp. 40 ribu per hari. Memang idealnya uang lauk itu adalah Rp. 70 ribu sehari. Tapi sekali lagi, kita kan harus menyesuaikan dengan kemampuan negara” tegas Yorrys Raweyai yang saat ini berada Hongkong lewat percakapan khusus dengan KATAKAMI.COM yang menghubunginya lewat sambungan telepon jarak jauh.

https://i0.wp.com/thejakartaglobe.com/media/images/large/20091030182249587.jpg

Sementara itu, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengatakan POLRI akan menyesuaikan dan menerima apapun yang ditetapkan oleh PEMERINTAH terkait masalah kesejahteraan. “Untuk masalah gaji, POLRI menyesuaikan dengan kemampuan NEGARA. Kemampuan NEGARA ini harus dipahami oleh kita semua. Untuk Bintara yang baru lulus, apa yang diperolehnya sudah lebih baik dari yang dulu-dulu” demikian dikatakan Kapolri BHD menjawab pertanyaan KATAKAMI.COM dalam acara keterangan pers akhir tahun POLRI pada hari Rabu (30/12/2009) di Mabes POLRI.

Kapolri BHD menambahkan bahwa gaji diperoleh oleh para pejabat POLRI juga tidak sebesar yang diperkirakan oleh banyak pihak. “Sampai kepada pejabat yang tertinggipun di Kepolisian, kondisinya sama. Baik yang bintang 4, atau yang bintang 3. Tunjangan yang diperoleh tidak terlalu besar. Dan kalau bicara soal peningkatan kesejahteraan, secara periodik tetap ada peningkatan secara terus menerus. Bahkan uang lauk pauk dari Rp. 35 ribu sekarang sudah meningkat jadi Rp. 40 ribu” lanjut Kapolri BHD.

Menurut Kapolri BHD, dengan adanya kebijakan renumerisasi atau kebijakan reformasi yang dijadwalkan pemerintah agar untuk meningkatkan kesejahetaraan anggota-anggota di lapangan.

http://1.bp.blogspot.com/_ecmvI8UPFV0/SxE47UbUJGI/AAAAAAAABx8/o891m43v
xU8/s400/2010blue.jpg

Kembali ke masalah jodoh baru Kapolri BHD menyambut tahun 2010 ini.

Semoga duet kepemimpinan baru antara BHD dan Jusuf Mangga bisa memberikan angin segar bagi kelanjutan reformasi birokrasi POLRI.

Apa yang menjadi kekurangan, kesalahan dan pelanggaran di internal POLRI janganlah lagi di ulangi.

Target-target atau sasaran kerja juga harus tercapai sesuai dengan yang diharapkan.

Sebagai PIMPINAN, janganlah orientasinya hanya kepada KEKUASAAN atau pasrah oleh tekanan KEKUASAAN.

Jadikanlah POLRIsebagai INSTITUSIPENEGAKAN HUKUM yang membanggakan untuk Indonesia.

Perhatikan semua anggota atau bawahan.

Kasihani mereka. Kasihani keluarga mereka.

Dengarkanlah jeritan PILU dari semua bawahan yang tak kuasa menghindar dari kekejaman hidup yang menuntut angka pengeluaran yang tak sedikit.

Semoga jodoh baru bagi Kapolri BHD ini, tak justru membuat anggota POLRI semakin memiliki hidup yang sama atau lebih PILU dari sebelumnya.

Dan diatas semua itu, semoga telinga Presiden SBY masih bisa berfungsi sebagaimana mestinya.

Dengarkanlah nyanyian-nyanyian IRONI anggota TNI / POLRI yang hidupnya dijejali dengan seribu macam pendeirtaan.

(MS)

January 21, 2010 Posted by | Uncategorized | Comments Off on BHD Berjodoh Baru, Tapi Gaji POLRI Di 2010 Tetap Pilu

Copot, Tangkap & Adili Komjen Gories Mere Karena Patut Dapat Diduga Menjadi BEKING Bandar Narkoba Liem Piek Kiong (MONAS) Pada Kasus Narkoba Taman Anggrek Dengan Barang Bukti 1 Juta Pil Ekstasi

January 21, 2010 Posted by | Uncategorized | Comments Off on Copot, Tangkap & Adili Komjen Gories Mere Karena Patut Dapat Diduga Menjadi BEKING Bandar Narkoba Liem Piek Kiong (MONAS) Pada Kasus Narkoba Taman Anggrek Dengan Barang Bukti 1 Juta Pil Ekstasi

Munir Cahaya Yang Tak Pernah Padam

http://ayomerdeka.files.wordpress.com/2008/11/munir1.jpg

Oleh : SUCIWATI, Isteri Alm. Munir.

BAGIAN PERTAMA

“Kenapa Abah dibunuh, Bu?” Mulut mungil itu tiba-tiba bersuara bak godam menghantam ulu hatiku. Gadis kecilku, Diva Suukyi, saat itu masih 2 tahun, menatap penuh harap. Menuntut penjelasan.

Suaraku mendadak menghilang. Airmataku jatuh. Sungguh, seandainya boleh memilih, aku akan pergi jauh. Tak kuasa aku menatap mata tanpa dosa yang menuntut jawaban itu. Terlalu dini, sayang. Belum saatnya kau mengetahui kekejian di balik meninggalnya ayahmu, suamiku, Munir. Seolah tahu lidah ibunya kelu, Diva memelukku. Tangan kecilnya melingkari tubuhku. ”Ibu jangan menangis…Jangan sedih,” kata-kata itu terus mengiang di telingaku.

Pada 7 September 2004, sejarah kelam itu tertoreh. Munir, suami dan ayah dua anakku –Alif Allende (10) dan Diva Suukyi (6)—meninggal. Siang itu, pukul 2.

Usman Hamid dari KontraS menelepon ke rumah. “Mbak Suci ada di mana?” Firasatku langsung berkata ada yang tidak beres. Pasti ada hal yang begitu besar terjadi sampai Usman begitu bingung. Jelas dia menelepon ke rumah, kok masih bertanya aku di mana.

Benar saja. Tergagap Usman bertanya, “Mbak, apa sudah mendengar kabar bahwa Cak Munir sudah meninggal?”

Tertegun aku mendengarnya. Seolah aku berada di awang-awang dan kemudian langsung dibanting ke tanah dengan keras. Kehidupan seolah berhenti. Seseorang yang menjadi bagian jiwaku, nyawaku, telah tiada. Kegelapan itu mencengkeram dan menghujamku dalam duka yang tak terperi.

Nyatakah ini? Air mata membanjir. Tubuhku limbung. Perlu beberapa saat bagiku untuk mengumpulkan tenaga dan akal sehat. Aku harus segera mencari informasi tentang Munir. Ya Tuhan, apa yang terjadi pada dia?

Begitu kesadaranku hadir, segera kutelepon berbagai lembaga seperti Imparsial dan kantor Garuda di Jakarta dan di Schipol (Belanda). Begitu pula teman-teman Munir di Belanda. Aku segera mencari kabar lebih lanjut dari kawan-kawan aktivis. Tak ada yang bisa memberikan keterangan memuaskan.

Orang-orang mulai berdatangan untuk menyampaikan bela sungkawa. Aku masih sibuk mencari informasi kesana-kemari. Sebagian diriku masih ngeyel, berharap berita itu bohong semata. Aku hanya akan percaya jika melihat langsung jenazah almarhum.

Pada tragedi ini, pihak Garuda amat tidak bertanggungjawab. Tiga kali aku menelepon kantor mereka di Jakarta, tapi tak satu pun keterangan didapat. Mereka bahkan bilang tidak tahu-menahu soal kabar kematian Munir. Sungguh menyakitkan, pihak maskapai penerbangan Garuda harusnya yang paling bertanggungjawab tidak sekali pun menghubungiku untuk memberi informasi. Padahal, Munir meninggal di pesawat Garuda 974.

Kantor Garuda di Schipol pun sama saja. Pada telepon ketiga, dengan marah aku menyatakan berhak mendapat kabar yang jelas menyangkut suamiku. Barulah informasi itu datang. Yan, nama karyawan Garuda itu, menjelaskan bahwa memang Munir telah meninggal dan dia menyaksikan secara langsung. Yan bahkan berpesan jangan sampai orang mengetahui kalau dia yang memberi kabar itu kepadaku. Ah, apa pula ini? Tuhan, beri aku kekuatan-Mu.

Aku hanya bisa menangis. Si sulung Alif, saat itu baru 6 tahun, melihatku dengan sedih dan ikut menangis. Diva terus bertanya dalam ketidak mengertiannya, “Kenapa Ibu menangis?” Aku merasa seolah jauh dari dunia nyata. Kosong.

Jiwaku hampa. Saat itu, dengan kedangkalanku sebagai manusia, sejuta pertanyaan dan gugatan terlontar kepada Tuhan. “Kenapa bukan aku saja yang Engkau panggil, Ya Allah? Mengapa harus dia? Mengapa dengan cara seperti ini? Mengapa harus saat ini? Mengapa? Ya Allah, Kau boleh ambil nyawaku,hamba siap menggantikannya. Dia masih sangat kami butuhkan, negara ini butuh dia.”

Rumah tiba-tiba dibanjiri manusia. Teman, kerabat, tetangga berdatangan. Bunga berjajar dari ujung jalan sampai ujung satunya. Alif bertanya, “Kenapa bunga itu tulisannya turut berduka cita untuk Abah?” Anakku, aku peluk dia, kukatakan bahwa Abah tidak akan pernah kembali lagi dari Belanda. Abah telah meninggal dan kita tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.

Alif menangis dan protes, “Bukannya Abah hanya sekolah? Bukannya Abah akan pulang Desember? Kenapa kita tidak akan ketemu lagi?” Amel, guru yang selama ini melakukan terapi untuk Alif yang cenderung hiperaktif, segera menggendong dan membawa Alif keluar. Maafkan, Nak. Aku tak berdaya bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaanmu. Aku tidak mampu.

Teman-teman dari berbagai lembaga juga datang. Antara lain dari Kontras, Imparsial, Infid, HRWG, dan banyak lagi yang tak mungkin aku mengingatnya satu persatu. Semua tumpah ruah.

Puluhan wartawan juga datang, tapi aku tak mau diwawancarai mereka. Biarlah kesedihan ini mutlak jadi milikku. Meskipun aku yakin bahwa keluarga korban yang selama ini didampingi almarhum pasti tidak kalah sedih. Sebagian mereka datang dan histeris menangisi kehilangan Munir.

PADA 8 September 2004, aku menjemput jenazah suamiku. Bersama Poengky dan Ucok dari Imparsial, Usman dari KontraS, dan Rasyid kakak Munir, aku berangkat ke Belanda. Ya Tuhan, beri aku kekuatan-Mu, begitu doaku sepanjang perjalanan.

Di ruang Mortuarium Schipol, jasad Munir terbujur kaku. Kami tiada tahan untuk tidak histeris. Usman melantunkan doa-doa yang membuat kami tenang kembali.

Sejenak aku ingin hanya berdua dengan suami tercintaku. Aku meminta teman-teman keluar dari ruangan. Aku pandangi Munir dalam derai air mata. Tak tahu lagi apa yang kurasakan saat itu. Sedih, hampa, kosong.

Lalu, kupegang tangannya. Kupandangi dia. Teringat saat-saat indah ketika kami bersama. Tiba-tiba ada rasa lain yang membuat aku menerima kenyataan ini. Aku harus merelakan kepergiannya. Doa-doa kupanjatkan. Ya Allah, berilah suamiku tempat terhomat disisi-Mu. Amien.

http://mysoo.files.wordpress.com/2009/08/munir.jpg

Di Batu, 12 September 2004, kota kelahirannya, Munir disemayamkan. Pelayat seolah tiada habisnya datang. Handai taulan, sahabat, teman-teman buruh, petani, mahasiswa, aktivis, wartawan semua ada. Banyak yang tidak tidur menunggu esok hari, saat pemakaman Munir. Umik, ibu Munir, begitu sedih. Aku bahkan tak sanggup melihat kesedihan yang membayang di wajahnya.

Hari itu, masjid terbesar di Batu, tempat Munir disholati, tidak sanggup menampung semua yang hadir. Perlu antre bergantian untuk sholat jenazah. Kota Batu yang selama ini sepi mendadak dipadati manusia. Melimpahnya “tamu” Munir ini bagai suntikan semangat bagiku. Bahwa ternyata bukan aku dan keluarga saja yang merasakan kedukaan ini. Dukungan yang mereka berikan membuatku kuat.

Seperti menanam sesuatu maka kamu akan memanennya,itulah yang aku buktikan hari ini. Aku melihat yang dilakukan Munir selama ini membuktikan apa yang dia perbuat.

Munir selalu mencoba berjuang bagi tegaknya keadilan dan perdamaian. Dia berteriak lantang menyuarakan keadilan bagi korban, baik di Aceh,Papua,Ambon dan dimana saja. Keberanian dan sikap kritisnya terhadap penguasa memang harus dibayar mahal oleh nyawanya sendiri dan juga oleh keluarga yang ditinggalkannya ‘anak dan istrinya’.

TAK MUDAH bagiku mencerna kehilangan ini. Perlu proses untuk menerima, mengikhlaskan kepergian Munir, dan menerima bahwa ini adalah kehendakNya. Jika Tuhan sudah berkehendak, maka siapa pun dan dengan cara apa pun tidak akan mampu mengelak. Keyakinan bahwa hidup-mati manusia adalah kehendak-Nya itu membuat aku bangkit lagi.

Munir adalah manusia, sama sepertiku dan yang lainnya, yang bisa mati. Kemarin, sekarang atau besok, itu hanya persoalan waktu. Sakit, diracun, atau ditembak itu hanya persoalan cara. Kematian adalah keniscayaan. Suka atau tidak suka, kita tetap harus menghadapinya. Dan kehidupan tidak berhenti. Air mata kepedihan tidak akan pernah mengembalikannya.

Sepenggal doa Sayyidina Ali, sahabat Nabi Muhammad SAW, membuatku bertambah yakin bahwa aku harus bangkit:

“Ketika kumohon kekuatan, Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat. Ketika kumohon kebijaksanaan, Allh memberiku masalah untuk kupecahkan. Ketika kumohon kesejahteraan, Allah memberikan aku akal untuk berpikir. Ketika kumohon keberanian, Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi. Ketika kumohon sebuah cinta, Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong. Ketika kumohon bantuan, Allah memberiku kesempatan. Aku tidak pernah menerima apa yang kupinta, tapi aku menerima segala yang kubutuhkan.”

Kucoba untuk merenung. Kuteguhkan hati bahwa ini bukan sekedar takdir, tapi ada misteri yang menyelubungi. Misteri yang harus diungkap. Aku harus berbuat sesuatu. Bersyukur, aku tidak sendirian dalam kedukaan ini. Banyak teman-teman yang peduli kepada kami sekeluarga.

https://katakamidotcomindonesianews.wordpress.com/wp-content/uploads/2009/10/62839_istri_mendiang_munir_suciwati_thumb_300_225.jpg?w=300

BAGIAN KEDUA

DUA bulan kemudian, tepatnya 11 November 2004, Rachland dari Imparsial menghubungiku. Dia mengabarkan ada wartawan dari Belanda ingin mewawancarai. Dia juga bertanya, apakah aku sudah mengetahui hasil otopsi yang dilakukan pihak Belanda terhadap almarhum Munir. Hasil otopsi itu kabarnya diserahkan kepada pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri.

Aku berharap teman-teman memiliki jaringan ke Departemen Luar Negeri. Tapi, rupanya tidak. Aku pun menelepon 108 –nomor informasi—untuk meminta nomer telepon kantor Departemen Luar Negeri.

Teleponku ditanggapi seperti ping-pong. Dioper sana-sini. Sampai akhirnya aku berbicara via telepon dengan Pak Arizal. Dia menjelaskan bahwa semua dokumen otopsi telah diserahkan kepada Kepala Polri, dengan koordinasi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

Entah, keberanian dari mana yang menyusup dalam diriku pada waktu itu. Aku tanpa ragu menghubungi dan berbicara dengan mereka, semua pejabat itu. Kebetulan, semua nomor telepon pejabat-pejabat penting itu terekam dalam telepon genggam suamiku.

Kepada para petinggi itu, aku bertanya, “Kenapa aku sebagai orang terdekat almarhum tidak diberitahu tentang otopsi? Apa yang terjadi padanya? Apa hasilnya?” Mereka tidak memberikan jawaban. Padahal, sebagai istri korban, aku memiliki hak yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Pukul 10.00 malam, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Pak Widodo AS meneleponku. Menurut dia, hasil otopsi telah diserahkan kepada Kepala Bagian Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Pak Suyitno Landung, Markas Besar Polri. Malam itu juga aku menelepon Kabareskrim. Aku meminta bertemu dengan dia esok paginya.

Bersama Al Ar’af dari Imparsial,dan Usman Hamid dari KontraS, Binny Buchori dari Infid, Smita dari Cetro dan beberapa kawan, esok paginya tanggal 12 November 2004 aku mendatangi kantor Kabareskrim.

Pagi itu aku menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Benarlah dugaanku bahwa ada yang aneh pada kematian Munir. Hasil otopsi itu menjelaskan dengan gamblang bahwa kematian almarhum adalah lantaran racun arsenik. Racun itu ditemukan di lambung, urine, dan darahnya. Ternyata dia memang dibunuh…!

https://i0.wp.com/www.tabloidkampus.com/imagesberita/Munir.jpg

KELUAR dari Mabes Polri, kami sudah diserbu wartawan. Siaran pers pun digelar bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di kantor KontraS.

Isinya, mendesak pemerintah untuk segera melakukan investigasi, menyerahkan hasil otopsi kepada keluarga, dan membentuk tim pen
yelidikan independen yang melibatkan kalangan masyarakat sipil. Desakan serupa dikeluarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah. Desakan yang ditanggapi dengan janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.

Tak lama pula kami membentuk KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir). Banyak organisasi dan individu yang punya komitmen akan pengungkapan kasus ini bergabung. Ini memang bukan hanya persoalan kematian seorang Munir. Lebih dari itu, ini persoalan kemanusiaan yang dihinakan dan kita tidak mau ada orang yang diperlakukan sama seperti dia hanya karena perbedaan pikiran.

Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun sepakat untuk meminta pemerintah membentuk tim independen kasus Munir. DPR juga mendesak pemerintah segera menyerahkan hasil autopsi kepada keluarga almarhum. Pada November 2004, DPR membentuk tim pencari fakta untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.

PADA 24 November 2004, Presiden Yudhoyono bertemu denganku. Teman-teman dari Kontras, Imparsial, Demos menemaniku bertemu Presiden. Satu bulan kemudian tepatnya tanggal 23 Desember 2004 Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden untuk pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang dipimpin oleh Brigjen pol. Marsudi Hanafi.

Tim ini, di luar dugaan, bekerja efektif menemukan kepingan-kepingan puzzle siapa dibalik pembunuhan Munir. Fakta-fakta temuan tim ini cukup mencengangkan. Fakta yang menunjukkan benang merah pembunuhan keji penuh konspirasi dan penyalahgunaan kekuasaan serta kewenangan di Badan Intelejen Nasional (BIN). Sayangnya TPF tidak diperpanjang lagi setelah dua kali(6 bulan)masa kerjanya.

Adalah Pollycarpus, pilot Garuda, benang merah yang mengurai jaring laba-laba kebekuan dan kerahasiaan yang melingkupi BIN. Polly, sebuah nama yang sangat melekat dibenakku. Sangat dalam maknanya dalam perjalanan menguak kebenaran siapa dibalik kematian Munir, suamiku.

Dia adalah orang yang menelepon suamiku dua hari sebelum berangkat ke Belanda. Polly menanyakan jadwal keberangkatan suamiku dan dia mau mengajak berangkat bersama. Kebetulan waktu itu aku yang menerima telepon itu. Jika tidak, barangkali aku tidak akan pernah tahu keberadaan Polly. Munir mengatakan Polly adalah orang aneh dan sok akrab. “Dia itu orang tidak dikenal tapi tiba-tiba menitipkan surat untuk diposkan di bandara setempat ketika aku hendak ke Swiss,” begitu kata Munir

Terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sang pilot tidak hanya menerbangkan pesawat. Dia adalah orang yang mempunyai hubungan dengan agen BIN seperti halnya Mayor Jenderal TNI Muchdi PR, Deputi V BIN. Polly disebut sebagai agen non organik BIN yang langsung berada di bawah kendali Muchdi. Berkas dakwaan tersebut juga menyebut adanya pembunuhan berencana terhadap Munir.

Tercatat pula dalam berkas dakwaan untuk Muchdi PR, keduanya –Polly dan Muchdi—berhubungan intensif melalui telepon. Paling tidak 41 kali hubungan telepon antara Muchdi dan Polly yang terjadi menjelang, saat dan sesudah tanggal kematian Munir. Bisa diduga, keduanya berhubungan terkait dengan perencanaan, eksekusi, dan pembersihan jejak.

https://i0.wp.com/www.munyie.com/picture/1153/1/munir.jpg

KAMI, aku dan teman-teman KASUM, juga melakukan investigasi. Kami berusaha memetakan jejak sang pilot. Melalui berbagai penelusuran, terungkap bahwa Pollycarpus memiliki hubungan dengan para pejabat BIN. Sosok satu ini diketahui berada di berbagai daerah titik panas seperti Papua, Timor Leste, dan Aceh. Sebuah fakta yang tidak biasa dalam dunia profesi pilot.

Polly sendiri, dalam persidangan, mengaku bahwa dia pernah tinggal cukup lama di Papua. Katanya, dia bertugas sebagai pilot misionaris sebelum bekerja di Garuda. Mungkin kebetulan, mungkin juga tidak, keberadaan Polly di Papua ternyata bersamaan dengan Muchdi PR yang waktu itu menjadi Komandan KODIM 1701 Jayapura pada tahun 1988-1993. Lalu, Muchdi menjadi Kasrem Biak 173/ 1993-1995. Melihat rekam jejak ini, patut diduga, pada periode itulah perkenalan pertama sang pilot dengan sang jenderal.

Indra Setiawan, saat itu menjabat Direktur Utama Garuda, mengakui mengingat nama Pollycarpus karena khas dan unik. Pada 22 November 2004, ketika kami meminta keterangan kepada Indra,

Aku: Apakah ada yang namanya Polly di Garuda?

Indra (menjawab dengan cepat) : Oh ya. Ada. Namanya Pollycarpus.

Aku : Bapak kok hafal padahal karyawan bapak lebih dari 7000 ?

Indra : Ya, soalnya namanya khas dan unik. Kalau namanya Slamet, saya pasti lupa.

Belakangan, dalam persidangan, baik sebagai saksi atau pun ketika ditetapkan sebagai terdakwa pada tahun 2007, terungkap bahwa Indra mengingat Polly karena alasan khusus. Alasan yang berkaitan dengan BIN. Polly merangkap pilot dan bagian pengamanan penerbangan (aviation security) atas permintaan BIN. Sebuah alasan yang masuk akal. Jika BIN yang meminta, kendati tidak benar secara prosedur, maka pihak Garuda tidak bisa menolak.

BIN mengeluarkan permintaan tersebut dalam surat yang ditandatangani Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali. Pada saat itu Kepala BIN dijabat oleh Hendropriyono –sosok yang selama ini sangat dekat dengan berbagai kasus yang diadvokasi almarhum.

Surat yang diteken As’ad patut diduga menjadi petunjuk bahwa rencana pembunuhan Munir melibatkan para petinggi BIN, bukan hanya Muchdi , tapi juga Hendropriyono. Apalagi, sesuai pengakuan agen BIN Ucok alias Empi alias Raden Patma dalam persidangan Peninjauan Kembali, Deputi II Manunggal Maladi dan Deputi IV Johannes Wahyu Saronto BIN juga diduga terlibat.

http://redaksikatakami2.files.wordpress.com/2009/03/1-skeetsaaa.gif

Irjen JWS yang ditulis Suciwati

BAGIAN KETIGA

SERANGKAIAN persidangan kasus pembunuhan Munir begitu melelahkan. Tak hanya secara fisik tetapi juga secara mental. Betapa tidak, pada tingkat Mahkamah Agung, Pollycarpus hanya dihukum dua tahun. Polly hanya dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan surat, bukan pembunuhan. Semua ini tentu merupakan pukulan sendiri buatku.

Jantungku sakit sekali ketika aku mendengar putusan untuk Polly. Aku merasa kehilangan untuk yang kedua kalinya, kehilangan Munir dan kehilangan keadilan itu sendiri.

Bagaimana mungkin fakta-fakta yang begitu mencolok diabaikan begitu saja oleh hakim-hakim itu? Bagaimana mungkin keadilan hukum bisa kuraih jika dipenuhi oleh manusia tanpa hati nurani?

Dua dari tiga hakim yang membebaskan Pollycarpus dari dakwaan pembunuhan itu memiliki latar belakang sebagai tentara. Keduanya adalah purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir mayor jenderal. Tak heran, beberapa pihak menduga, ada semangat korps dalam menangani kasus ini yang menguntungkan Pollycarpus.

Kesedihan sama sekali tidak membuatku surut. Aku yakin pasti masih banyak aparat penegak hukum mempunyai hati nurani. Masih banyak yang peduli pada keadilan dan kebenaran. Ini terbukti dalam putusan pengadilan kasasi pada tanggal 25 Januari 2008 Polycarpus dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun atas dakwaan pembunuhan berencana dan pemalsuan surat tugas.

Selesai? Belum. Misteri pembunuhan Munir masih jauh dari terungkap. Terungkap dari persidangan, juga keputusan pemidanaan Polly, ada mesin intelejen yang bekerja dengan jahat menghabisi nyawa Munir. Ini jauh lebih penting ketimbang sekadar menghukum Polly. Dia hanya pelaku lapangan, bukan orang yang secara sistematis menggunakan kekuasaan dan kewenangan dalam melakukan pembunuhan ini.

Tragisnya, sampai hari ini proses meraih kebenaran dan keadilan siapa di balik pembunuhan Munir masih terseok-seok. Tabir misteri belum tersingkap.

Benar, ada perkembangan baru dengan ditangkapnya Muchdi Purwopranjono 19 Juni 2008. Jenderal bintang dua ini diduga kuat berada di balik pembunuhan Cak Munir. Saat ini proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedang berlangsung untuk membuktikan dugaan tersebut.

Yah, aku berharap persidangan ini berlangsung adil. Kejahatan para pelaku pelanggar HAM selayaknya dibawa ke pengadilan. Namun, kecemasan selalu hadir. Adakah keadilan akan berpihak kepadaku?

Aku berharap masih ada jaksa dan hakim handal yang mengedepankan hati nurani ada di pengadilan ini. Tentu saja aku juga berharap pelaku sesungguhnya juga segera ditangkap, siapa pun dia.

https://i0.wp.com/data5.blog.de/media/873/3446873_295665001c_s.gif

PERJALANAN meraih keadilan begitu berliku. Satu hal yang paling aku syukuri adalah begitu banyak sahabat yang mendukung perjuangan pencarian keadilan ini. Teman-teman di KASUM dan tak sedikit sahabat yang secara pribadi memberiku kekuatan untuk terus berjuang.

Tak jarang teror hadir. Ada ancaman datang dari mereka yang ingin memadamkan pencarian keadilan ini. Bahkan statusku sebagai ibu juga menjadi bagian empuk untuk diserang oleh mereka. Syukurlah, di saat-saat begini, sahabat-sahabatku setia mendampingi dan menguatkanku.

Desakan penuntasan kasus Munir dari dalam negeri cukup kuat. Pada 7 Desember 2006, Tim Munir DPR RI mengeluarkan rekomendasi agar Presiden membentuk Tim Pencari Fakta yang baru. Berbagai kelompok masyarakat sipil pun terus mempertanyakan kasus Munir. Mereka datang dari berbagai kalangan, antara lain LSM, akademisi, petani, buruh, seniman,wartawan dan berbagai profesi lainnya.

Tak hanya dari dalam negeri, dukungan juga datang dari segala penjuru dunia. Pada 9 November 2005, misalnya, 68 anggota Kongres Amerika Serikat mengirimkan surat kepada Presiden Yudhoyono agar segera mempublikasikan laporan TPF. Anggota Kongres AS tersebut mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menuntaskan kasus Munir.

Pada September 2006, saat KTT ke-6 ASEM (The Asia-Europe Meeting) di Helsinki, Finlandia, kasus Munir menjadi salah satu sorotan peserta. Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso, peserta penting dalam konferensi tersebut, mempertanyakan kelanjutan pengusutan kasus Munir langsung kepada Presiden Yudhoyono.

Philip Alston, UN Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions, juga telah menyatakan kesediaannya untuk ikut membantu pemerintah Indonesia dalam mengusut kasus Munir.

Pelapor khusus, yakni Hina Jilani (Human Rights Defender) dan Leandro Despouy (Kemandirian Hakim dan Pengacara), juga telah menyatakan keprihatinan akan kasus Munir di hadapan Dewan Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa.

Pada 26 Februari 2008, Deklarasi Parlemen Uni Eropa meminta pemerintah Indonesia serius dalam menuntaskan kasus Munir. Bahkan, 412 anggota parlemen yang menandatangani deklarasi ini meminta Uni Eropa memonitor kasus ini sampai tuntas.

Mengalirnya dukungan tersebut mestinya membuat pemerintah tidak usah ragu. Siapa pun di balik kekejian ini harus diungkap, tak peduli jika penjahatnya itu adalah orang kuat.

Dukungan bagi pemerintah telah mengalir, secara hukum dan politik. Tinggal perintah dari sang presiden untuk memastikan kepolisian tetap bekerja mengusut kasus ini sampai terungkapnya sang aktor utama. Presiden juga hanya perlu memerintahkan Jaksa Agung untuk bekerja profesional. Hanya itu….

Presiden Yudhoyono pernah menyatakan bahwa pengusutan kasus pembunuhan Munir adalah ujian bagi sejarah bangsa. “Test of our history,” kata Pak Presiden.

Jadi, aku,rakyat Indonesia dan komunitas internasional menunggu bukti perkataan itu. Aku menunggu pengusutan misteri ini sampai pada aktor utamanya, bukan hanya aktor pinggiran saja. Negara harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran HAM yang telah terjadi.

BAGIKU, Munir adalah cahaya yang tidak pernah padam. Kesan ini semakin mendalam terasa setelah kepergiannya. Munir beserta semangatnya telah memecahkan ketakutan yang mencekam, menciptakan budaya demokrasi, memberi harapan penegakan HAM. Semua yang Munir lakukan menjadi inspirasi bagiku dan teman-teman penggerak demokrasi di negeri ini. Niscaya, semangat itu diteruskan oleh para pencinta keadilan dan kebenaran dengan tanpa henti.

Ya Allah, aku bukan Sayidina Ali yang Kau beri kemuliaan. Aku hanya manusia biasa dan aku memohon kepadaMu sebab aku meyakiniMu. Berilah kemudahan bagi kami untuk mengungkap pembunuhan ini. Beri kami kekuatan untuk menjadikan kebenaran sebagai kebenaran sesuai perintahMu. Menjadikan keadilan sebagai tujuanku seperti tujuan menurutMu.

Ya Allah, aku tidak menjadi manusia yang lebih dari yang lain dengan berbagai ujian yang Kau berikan, seperti Kau muliakan Nabi Muhammad dengan berbagai ujianMu. Aku hanya minta menjadi manusia biasa dan dapat mengungkap kasus ini. Amin.

Bekasi, September 2008.

(Tamat)

https://i0.wp.com/www.uselessgraphics.com/DEVIL3.gif

LAMPIRAN (BERITA YANG DIMUAT DI WWW.KOMPAS.COM )

http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/25/11182561/santet.jadi.alternatif.bunuh.munir

SANTET JADI ALTERNATIF BUNUH MUNIR

Kamis, 25 September 2008 | 11:18 WIB

JAKARTA, KAMIS — Santet ternyata menjadi salah satu cara atau intrik yang akan digunakan untuk membunuh aktivis HAM Munir pada tahun 2004. Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan pembunuhan Munir dengan terdakwa Muchdi Pr di PN Jakarta Selatan, Kamis (25/9/2008), dari kesaksian aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Hendardi.

Alternatif intrik ini merupakan petunjuk dari dokumen yang diperoleh Tim Pencari Fakta (TPF) Munir sekitar tahun 2005. Menurut Hendardi, dokumen tersebut diterima Ketua TPF Marsudi Hanafi. Namun, mereka tidak mengetahui dari siapa dokumen tersebut berasal.

Dokumen tersebut merupakan hasil tulisan seseorang atau sejumlah orang yang tidak diketahui mengenai skenario pembunuhan yang akan dipakai untuk membunuh Munir. Skenario tersebut memuat pengetahuan dan analisis orang-orang tersebut mengenai siapa yang terlibat, tempat dan waktu pertemuan, perencanaan cara dan intrik alternatif pembunuhan dilangsungkan.

Di dalamnya juga memuat nama target lain selain Munir serta eksekutornya, tapi Hendardi mengaku lupa. “Tapi karena terakhir masa TPF tak kami jadikan data primer,” ujar Hendardi.

Selain intrik pembunuhan dengan santet, intrik pembunuhan dengan racun juga tercantum di dalamnya. Bahkan dituliskan telah dicobakan kepada hewan hingga hewan itu mati.

January 21, 2010 Posted by | Uncategorized | Comments Off on Munir Cahaya Yang Tak Pernah Padam