Saatnya SBY Tentukan Calon Panglima TNI & Kapolri Baru
Jakarta 31/8/2010 (KATAKAMI) — Waktu memang berjalan begitu cepat. Tak terasa, detik demi detik bergulir secara perlahan tapi pasti. Bulan Agustus sudah tutup buku dan bulan berikutnya sudah siap menanti.
Dan di bulan “September Ceria”, ada satu agenda sangat penting yang harus dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yaitu sudah harus segera mengajukan nama calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).
SBY sudah tak punya banyak waktu untuk menunda-nunda pengajuan nama kedua calon pimpinan instansi bergengsi ini.
Walaupun memang jadwal pensiun Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso dan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri tidak bersamaan.
Jenderal Djoko Santoso akan resmi memasuki masa pensiunnya per tanggal 1 Oktober 2010 mendatang.
Dan Jenderal BHD memasuki masa pensiunnya per tanggal 1 November 2010.
Tetapi bulan September inilah bulan terbaik dan yang paling tepat untuk mengajukan nama calon Panglima TNI dan Kapolri.
Sebab tak elok jika Presiden SBY mengajukan nama calon Panglima TNI dan calon Kapolri secara mendadak ke DPR.
Foto : TB Hassanudin
Lewat wawancara dengan KATAKAMI.COM, Selasa(31/8/2010) di Jakarta, TB Hassanudin Anggota Komisi I DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan mengatakan bahwa Presiden SBY harus menunjukkan itikat baiknya kepada DPR terkait pengajuan nama calon Panglima TNI dan calon Kapolri.
“Pengajuan nama calon Panglima TNI dan calon Kapolri itu jangan mendadak. Artinya begini ya, SBY jangan membuang waktu lagi. Bulan September ini memang bulan yang terbaik untuk mengajukan nama-nama tadi. Malah kalau bisa sebelum lebaran, semua proses sudah selesai dilakukan. Calon Panglima TNI menjalani fit and proper test di Komisi I. Sedangkan calon Kapolri menjalani fit and proper test di Komisi III. Jadi silahkan diajukan secepatnya nama calon Panglima TNI dan calon Kapolri” kata TB Hassanudin.
Menurut TB Hassanudin, pihaknya yakin bahwa siapapun calon pengganti yang dipilih pastilah figur terbaik yang mengetahui dan menguasai situasi dan kondisi yang ada untuk melanjutkan tugas mereka memimpin di jajaran TNI dan Polri.
“Proses pergantian Panglima TNI dan Kapolri ini sebuah proses yang biasa. Agenda pensiun dari Panglima TNI dan Kapolri kan sudah jelas. Sehingga proses pergantian di masing-masing instansi jangan sampai vakum. Khusus untuk TNI, sudah ada konsensus bahwa sebaiknya jabatan Panglima TNI sebaiknya diberikan secara bergiliran. Entah itu dari matra TNI AD, TNI AL atau TNI AU. Dan saya yakin, walaupun nanti calon Panglima TNI bukan dari TNI AD, tidak akan ada kecemburuan sosial” lanjut TB Hassanudin.
Mantan Komandan Paspampres di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri ini mengatakan juga bahwa DPR menunggu surat dari Presiden SBY terkait pengajuan nama calon Panglima TNI dan Kapolri.
Berdasarkan UU 34 Tahun 2004 tentang TNI, pada pasal 13 bahwa jabatan PANGLIMA TNI dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai kepala staf angkatan.
Pasal 13 itu juga menyatakan, Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh presiden setelah mendapat persetujuan DPR.
Pasal 13 juga mencantumkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian panglima dilakukan berdasarkan kepentingan organisasi TNI.
Dan jika jabatan PANGLIMA TNI harus digilir maka peluang terbesar untuk menjadi PANGLIMA TNI akan diberikan kepada Kepala Staf TNI Angkatan Laut.
Sebab saat ini, Panglima TNI dijabat oleh perwira tinggi dari TNI Angkatan Darat.
Panglima TNI sebelumnya dari matra udara ( TNI AU ) yaitu Marsekal TNI Djoko Suyanto ( yang saat ini menjabat sebagai Menkopolhukkam ).
Perwira tinggi TNI dari TNI Angkatan Laut yang pernah menjabat sebagai Panglima TNI adalah Laksamana TNI (Purn) Widodo AS di awal reformasi ( tahun 1999) yang kala itu menggantikan Jenderal TNI (Purn) Wiranto.
Laksamana (Purn) Widodo AS saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.
Yang pasti, UU TNI memungkinkan ketiga KEPALA STAF ANGKATAN untuk dipilih menjadi Panglima TNI yang baru.
Oleh karena UU TNI memberikan kemungkinan bagi para KEPALA STAF ANGKATAN untuk menjadi Calon Panglima TNI maka inilah 3 kandidat yang berpeluang :
Foto : Sertijab KSAD dari Jend. Agustadi Sasongko (Kiri) Kepada Jend. George Toisutta (Kanan)
KSAD Jenderal TNI George Toisutta (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 1 Juni 1953; umur 57 tahun) adalah Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat ini.
Jenderal TNI George Toisutta menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat sejak 9 November 2009.
Dia mengantikan Jenderal TNI Agustadi Sasongko Purnomo, S.IP.
Sebelumnya, pria kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, 1 Juni 1953, ini menjabat Panglima Kostrad (2007-2009).
Pria kelahiran Makassar, 1 Juni 1953, itu menamatkan pendidikan militer di Akabri pada tahun 1976.
George mengawali karir militernya pada 1978 sebagai Komandan Pleton 1-Kipan-C Yonif-74/BS.
Sepuluh tahun kemudian diangkat sebagai Kasi-2 Ops Brigif -1/PIK Kodam Jaya, dan satu tahun kemudian dipercaya Wakil Komandan Yonif-201/JYB Kodam Jaya.
Ayah tiga anak alumni Sesko Angkatan Darat 1992 itu, kemudian dipercaya menduduki Kepala Staf Divisi-2 Kostrad, Kasdam Jaya pada 2003, Pati Mabes TNIB pada 2003 dan menjadi Panglima Divisi-1 Kostrad Jakarta 2004.
Foto : KSAU Marsekal TNI Imam Sufaat, S.IP
Marsekal TNI Imam Sufaat, S.IP, pria kelahiran Wates, Yogyakarta, 21 Januari 1955, dilantik Presiden menjadi Kepala Staf Angkatan Udara ke-18 pada 9 November 2009.
Serah terima jabatan dari Marsekal TNI Subandrio dilaksanakan pada 12 Nopember 2009, dipimpin Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso.
Lulusan AAU 1977 ini meniti karir sebagai penerbang pesawat tempur Hawk MK-53 yang berpangkalan di Lanud Iswahjudi Madiun.
Setelah 32 tahun bertugas di TNI Angkatan Udara, suami dari Dra Maya Andayani dan ayah dari dua putra (Sari Dumayanti dan Wira Primasatya) ini, telah memperoleh beberapa tanda kehormatan meliputi Bintang Swa Bhuwana Paksa Nararya, Satyalancana Kesetiaan VIII tahun, Satyalancana Kesetiaan XVI Tahun, Satyalancana Kesetiaan XXIV tahun, Satyalancana Dwidya Sistha, Satyalancana Dwidya Sistha Ulangan I, Satyalancana Dwidya Sistha Ulangan II, dan Satyalancana Darma Nusa.
Foto : KASAL Laksamana TNI Agus Suhartono (Kanan) Jadi Warga Kehormatan Puspenerbal
KSAL Laksamana TNI Agus Suhartono, SE dilantik Presiden menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Laut ke-22 pada tanggal 9 November 2009.
Pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, 25 Agustus 1955, ini menggantikan Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatno yang memasuki masa pensiun.
Lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL) ke-24 tahun 1978, ini sebelumnya menjabat Irjen Departemen Pertahanan.
Dia juga pernah menjabat Komandan Gugus Tempur Laut Koarmatim, Komandan Kodikal, Asrena KSAL, Asisten Operasi KSAL, Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat.
Serah terima jabatan Kepala Staf Angkatan Laut dari Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatno,SH kepada Laksamana Madya TNI Agus Suhartono, SE dipimpin Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso di Dermaga Koarmatim Ujung Surabaya, Jumat ,13 November 2009.
Laksamana Madya TNI Agus Suhartono, SE dilantik menjadi Kasal Senin 9 November 2009 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara bersama Letnan Jenderal TNI George Toisuta sebagai Kasad dan Marsekal Madya TNI Imam Sufaat sebagai Kasau.
Foto : Kapolda Sumatera Utara Irjen Polisi Oegroseno
Berbeda dengan jajaran TNI yang sangat ketat diatur oleh perundang-undangan terkait penunjukan dan pengangkatannya (sebab UU mengatur bahwa calon Panglima TNI haruslah diserahkan kepada perwira tinggi yang sedang atau pernah menjabat menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan), kandidat Kapolri bisa lebih fleksibel.
Figur yang besar peluangnya adalah Irjen Oegroseno yang saat ini menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatera Utara.
Oegroseno lulusan Akpol angkatan 1978 yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Kapolda Sulawesi Tengah, Kepala Telematika Polri dan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan ( Kadiv Propam Polri ).
Perwira tinggi Polri yang kalem inilah yang paling menonjol integritas dan prestasi kerjanya.
Pengalamannya memegang 2 “WILAYAH” sebagai Kapolda adalah modal penting untuk menjadi Kapolri.
Pengalaman memegang WILAYAH dalam rekam jejak seorang perwira tinggi Kepolisian adalah kunci terpenting bila Presiden SBY hendak memberikan tugas dan tanggung jawab yang lebih besar.
Dan 2 orang mantan Kapolda Sumatera Utara, secara berturut-turut menduduki jabatan sebagai Kapolri yaitu Jenderal Polisi Sutanto dan Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri.
Akankah Oegro mengulangi “sejarah” yang penting ini ?
Mengingat besarnya wilayah kesatuan Republik Indonesia ( dan beberapa wilayah adalah DAERAH KONFLIK ), maka figur Kapolri yang baru haruslah figur yang sangat cakap dan berpengalaman penuh dalam mengamankan situasi KAMTIBMAS di Indonesia.
Nama lain yang bisa dipertimbangkan Presiden SBY untuk menjadi calon Kapolri memang masih ada.
Sebutlah misalnya Wakapolri Komjen Jusuf Manggabarani ( Angkatan 1975 ).
Sulit bagi siapapun dalam jajaran Kepolisian untuk menandingi rekam jejak Jusuf Mangga yang sangat jujur, bersih, berintegritas tinggi dan cakap dalam menjalankan tugasnya ( terutama semasa ia menjabat sebagai Kapolda dan tercatat selalu berhasil mengamankan berbagai kerusuhan di daerah konflik ).
Tetapi sayang, Jusuf Mangga sudah harus memasuki masa pensiun per tanggal 1 Maret 2011.
Hanya tinggal 6 bulan lagi, Jusuf Mangga berkiprah sebagai perwira tinggi Polri yang aktif.
Lalu ada juga seorang perwira tinggi berbintang 3 yang disebut-sebut berpeluang menjadi calon Kapolri.
Tetapi sayang sekali, rekam jejaknya yang GAGAL TOTAL mengatasi kerusuhan di Gedung DPRD Sumatera Utara awal Februari 2009 lalu adalah catatan buruk yang sangat fatal.
Akibat kegagalan mengatasi kerusuhan anarkis tanggal 3 Februari 2009 itu, Ketua DPRD Sumatera Utara Haji Azis Angkat dari Fraksi Partai Golkar meninggal dunia akibat dipukuli massa hingga akhirnya terkena serangan jantung.
Polda Sumut tidak menjalankan tugasnya sesuai prosedur.
Ketua DPRD Haji Azis Angkat dipukuli massa dan dievakuasi ke dalam truk polisi asat kondisi kesehatannya memburuk. Setelah dimasukkan ke dalam truk, massa tetap memukuli dan menghadang truk itu hingga akhinya Haji Azis Angkat wafat sebelum sempat dibawa ke rumah sakit.
Ketika itu, Kapolri BHD mengirimkan Tim Pemeriksa yang dipimpin langsung oleh Inspektur Pengawasan Umum (IRWASUM) Komjen Jusuf Manggabarani untuk memeriksa apakah ada kesalahan prosedur dalam menangani kasus kerusuhan anarkis itu.
Lalu tak lama kemudian, KAPOLDA yang menjabat di wilayah Sumatera Utara DICOPOT dari jabatannya dan ditarik ke Mabes Polri.
Kini perwira tinggi yang DICOPOT karena lalai dan gagal menangani kerusuhan anarkis di Gedung DPRD Sumatera Utara itu, sudah berbintang 3 dan dispekulasikan akan berpeluang besar dalam merebut kursi Tri Brata 1.
Tetapi bukankah rekam jejak seseorang yang akan dipromosikan ke jenjang yang paling tinggi, haruslah bersih dan tidak memiliki CACAT CELA dalam rekam jejaknya ?
Lalu nama lain yang bisa dipertimbangkan oleh Presiden SBY untuk menjadi calon Kapolri adalah Kapolda Metro Jaya Irjen Timur Pradopo (1978) dan Kepala Lembaga Diklat (Kalemdiklat) Polri Irjen Imam Sujarwo (Angkatan 1980).
Inilah nama-nama yang sangat kuat peluangnya untuk dipertimbangkan oleh Presiden SBY menjadi calon Kapolri yang baru yaitu Komjen Jusuf Manggabarani, Irjen Oegroseno, Irjen Timur Pradopo dan ternyata ada satu nama lagi yang layak dipertimbangkan yaitu Irjen Imam Sujarwo.
Regenerasi kepemimpinan Polri memang akan sangat terjaga jika di isi oleh perwira tinggi dari Angkatan muda dengan tetap mempertimbangkan REKAM JEJAK yang bersangkutan sepanjang kariernya di dinas Kepolisian.
Ini bukan soal siapa figur yang di idolakan.
Tidak ada istilah IDOLA dalam memilih putra terbaik bangsa yang akan diserahi tugas dan tanggung-jawab yang sangat mulia sekelas jabatan Kepala Kepolisian ( Kapolri ).
Semua berpeluang tetapi hanya yang terbaik, tidak bermasalah dan tidak bercacat cela dalam rekam jejaknya sepanjang kariernyalah yang pantas dipilih oleh Presiden SBY.
Foto : BHD ( Kedua dari Kiri) dan Panglima TNI Djoko Santoso ( Kedua dari Kanan)
Akhirnya, semua keputusan memang ada di tangan Presiden SBY.
Nama mana yang akan ditunjuk sebagai calon Panglima TNI dan calon Kapolri yang baru.
Presiden memiliki HAK PREROGATIF untuk menentukan calon-calon tersebut sehingga tidak ada satu elemenpun di negara ini yang bisa mengintervensi HAK VETO Presiden untuk memilih dan menentukan.
Pilihlah yang memang cakap, bersih, berintegritas tinggi dan tidak punya CACAT CELA dalam rekam jejaknya.
Sedikit saja ada CACAT CELA maka itu akan merusak kredibilitas dari institusi yang akan mereka pimpin.
Memang betul bahwa bulan September adalah waktu yang paling tepat bagi Presiden SBY untuk mengajukan nama calon Panglima TNI dan calon Kapolri ke DPR agar masing-masing segera dicarikan waktu yang paling tepat guna menjalani uji kepatutan dan kelayakan ( FIT AND PROPER TEST).
Calon Panglima TNI diuji oleh Komisi I DPR dan calon Kapolri diuji oleh Komisi III DPR.
Presiden SBY sudah harus mengirimkan nama-nama itu dalam beberapa hari ke depan.
Sebab DPR bukan lembaga abal-abal alias asal-asalan. Setiap anggota atau Komisi di DPR pasti mempunyai agenda dan kesibukan yang sangat amat padat.
Apalagi bulan September ini akan terpotong dengan MASA LIBUR NASIONAL terkait Hari Raya Idul Fitri selama kurang lebih satu pekan.
Lalu Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso sudah harus pensiun per tanggal 1 Oktober 2010.
Sementara tanggal 5 Oktober 2010 TNI merayakan dirgahayu mereka dan Panglima TN harus menjadi “TUAN RUMAH” pada perayaan penting 5 Oktober.
Silahkan Bapak Presiden, pilihlah yang terbaik untuk menjadi calon Panglima TNI dan calon Kapolri yang baru.
Pastikan bahwa kedua pimpinan yang baru ini dapat membangun dan meningkatkan kerjasama yang kuat antara institusi mereka dan antar negara di kancah internasional.
Pastikanlah juga bahwa kedua pemimpin yang baru ini akan dapat melanjutkan REFORMASI BIROKRASI di jajaran mereka masing-masing, termasuk menyelesaikan kasus-kasus yang belakangan ini mendominasi pemberitaan media massa ( terutama dari kalangan POLRI ).
Siap Bapak Presiden, awas, jangan salah pilih !
(MS)
Jangan Biarkan Persahabatan Indonesia & Malaysia Jadi ternoda
Dimuat juga di KATAKAMIDOTCOM.WORDPRESS.COM
Jakarta 28/8/2010 (KATAKAMI) — Perkembangan “konfrontasi” antara Indonesia dan Malaysia sudah semakin melebar dan memanas. Sebenarnya, memanasnya situasi antar kedua negara serumpun ini bukan salah media massa Indonesia. Sebab wartawan hanyalah menjalankan tugasnya. Jika situasi pada panggung realita yang diliputnya memang rusuh, memanas dan kusut, maka harus seperti itu jugalah berita yang disampaikan dalam pemberitaan yang dibuat oleh masing-masing media. Tak bisa dikurang-kurangi. Dan tak bisa dilebih-lebihkan.
Sehingga posisi media massa ( terutama media massa Indonesia ) berada dalam posisi yang memang seharusnya demikian adanya atau on the right track.
Sebenarnya kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyobo memang arif dan bijaksana maka ia harus cepat tanggap membaca situasi yaitu apa sebenarnya pokok permasalahan.
Kalau situasinya memanas dan memburuk seperti ini, apa pokok permasalahannya ?
Cari tahu dong.
Untuk apa menggelar rapat berlama-lama kalau ternyata substansi dari permasalahan yang ada sekarang ini, tidak bisa diatasi secara cepat dan tepat.
Mengapa rakyat Indonesia marah terkait penangkapan 3 pengawas Perikanan Satker Batam ( mereka bukan pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan RI tetapi hanya sebatas PENGAWAS SATUAN KERJA).
Foto : PM Malaysia Najib Razak & Presiden SBY (masing-masing didampingi isteri)
Ini perlu dijelaskan agar pemberitaannya tidak simpang siur bahwa seolah-olah Malaysia menangkap, memenjarakan dan memakaikan baju tahanan kepada 3 orang “PEJABAT INDONESIA”.
Mengutip siaran pers dari Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan tertanggal 15 Agustus 2010, kronologis penangkapan itu dijelaskan sebagai berikut :
Tiga (3) orang Pengawas Perikanan Satker Batam atas nama Asriadi (40 th) alamat Batu Aji; Erwan (37 th) alamat Tibas Ksb; Seivo Grevo Wewengkang (26 th) alamat Legenda Malaka Batam Center telah ditahan oleh Marine Police Malaysia dan saat ini berada di kantor Polisi Johor Baru Malaysia.
Kejadian bermula pada tanggal 13 Agustus malam hari jam 21.00 Pengawas Perikanan melakukan patroli dengan menggunakan 2 (dua) speed boat Dolphin ukuran panjang 12 meter berdasarkan laporan masyarakat bahwa ada 5 (lima) kapal ikan Malaysia melakukan penangkapan ikan illegal didekat Tanjung Berakit Pulau Bintan.
Setelah diadakan patroli terbukti bahwa ke lima kapal sedang melakukan penangkapan ikan menggunakan jaring Gillnet (berarti jenis ikan Pelagis), dan ternyata tanpa dokumen izin penangkapan, sehingga dilakukan proses pemeriksaan di kapal mereka sesuai dengan SOP (standard operasi prosedur) Penyidikan Perikanan. Kelima kapal ukuran panjang 12 meter dari kayu dengan bobot sekitar 10 GT.
Selanjutnya ke lima kapal tersebut dilakukan adhoc dengan cara 3 (tiga) orang Pengawas Perikanan naik di atas kapal mereka dan 7 (tujuh) ABK Malaysia dinaikkan di ke dua Speed Boat dan selanjutnya kelima kapal dengan dikawal ke dua Speed Boat menuju pangkalan tedekat di Batam.
Dalam perjalanan iring-iringan kapal menuju pangkalan terdekat, datang Kapal Patroli Marine Police Malaysia dan melakukan pencegatan serta meminta semua kapal dengan ABK Malaysia dilepaskan.
Terjadi argumen antara petugas pengawas dan Captain Kapal Patroli Malaysia dimana Pengawas Perikanan menjelaskan bahwa mereka akan diproses hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku, namun Kapal Patroli Marine Police memberikan tembakan peringatan dua kali, akhirnya untuk menghindari insiden yang tidak diinginkan kedua Speed Boat meninggalkan lokasi dan bersamaan dengan itu Kapal Patroli Malaysia menggiring ke lima kapal ikan Malaysia ke Johor Baru dengan 3 (tiga) orang Pengawas Perikanan ada di atas kapal tersebut dan saat ini ditahan.
Sementara itu ke 7 (tujuh) ABK Malaysia oleh Pengawas Perikanan diserahkan ke Polres Batam untuk menjalani proses penyidikan dibantu sepenuhnya oleh petugas Polda Kepri. Pihak Polda Kepri sudah berkomunikasi dengan Polisi Diraja Malaysia untuk meminta agar petugas Pengawas Perikanan yang ditahan diperlakukan dengan baik. Pihak Polisi Diraja Malaysia menyampaikan bahwa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian ke Kemlu mereka.
Foto : Presiden SBY (Kiri) dan PM Malaysia Datuk Seri Najib Tun Razak
Ada sudut pandang yang berbeda yang ingin diurai disini setelah mendengarkan berbagai penjelasan dari pihak Kantor Kementerian Luar Negeri Indonesia di hadapan Komisi I DPR-RI tanggal 25 Agustus 2010 yang lalu.
Salah satunya adalah penjelasan dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Johor Bahru Malaysia Jonas L Tobing , diperoleh keterangan bahwa pihak yang menangkap dan menahan 3 pengawas Satuan Kerja Perikanan Indonesia adalah setingkat POLSEK (Polisi Sektor) Johor Bahru.
Komunikasi yang dijalin oleh pihak Konjen RI juga dilakukan dengan pejabat Kepolisian Diraja Malaysia setingkat KAPOLSEK
Di Indonesia, pejabat Kepolisian yang menjabat sebagai KAPOLSEK dijabat oleh perwira menengah dengan pangkat AKP ( AJUN KOMISARIS POLISI).
Tanpa bermaksud untuk merendahkan pangkat dan jabatan dari “KAPOLSEK” JOHOR BAHRU Malaysia, bisakah logika dan nalar kita menerima fakta ini ?
Setingkat Konsulat Jenderal yang menjadi perpanjang-tanganan dari Pemerintah Indonesia ( cq Kedutaan Besar RI di Malaysia), berkomunikasi dengan pejabat KEPOLISIAN DIRAJA MALAYSIA yang hanya sekelas Kapolsek tetapi berbuntut sangat fatal bagi hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia ?
Dalam hal ini, bukan Konsulat Jenderal RI di Johor Bahru Malaysia yang patut dipersalahkan.
Dan bukan “KAPOLSEK” di Johor Bahru Malaysia yang pantas dipersalahkan karena dinilai AROGAN.
Duta Besar RI untuk Kerajaan Malaysia Jenderal Dai Bachtiar
Jangankan Konsulat Jenderal RI di Johor Bahru Malaysia, Duta Besar RI di Malaysia yaitu Jenderal Polisi (Purn) Dai Bachtiar saja mengaku tak bisa berkomunikasi dengan Kepala Kepolisian Diraja Malaysia dengan alasan sulit berkomunikasi di akhir pekan dengan pejabat-pejabat penting KEPOLISIAN DIRAJA MALAYSIA.
Di hadapan Komisi I DPR-RI, Jenderal Dai Bachtiar menjelaskan bahwa BEBERAPA JAM SETELAH MENDAPAT LAPORAN PENANGKAPAN, ia baru bisa berkomunikasi via telepon dengan Wakil Kepala Kepolisian Diraja Malaysia.
Pertanyaannya, seorang mantan KAPOLRI yang diberi gelar kehormatan TAN SRI oleh pihak Malaysia, tidak bisa melobi dan berkomunikasi bak dua sahabat dekat dengan KEPALA KEPOLISIAN DIRAJA MALAYSIA ?
Bisakah dibayangkan, betapa semu, hambar dan hanya kamuflase saja hubungan baik antara KEPOLISIAN INDONESIA & KEPOLISIAN DIRAJA MALAYSIA jika dalam situasi yang sangat genting, hubungan baik itu tak bisa dimanfaatkan lewat saluran-saluran khusus.
Disitu titik permasalahannya !
Kalau saja, komunikasi dan hubungan baik antara KEPOLISIAN INDONESIA & KEPOLISIAN DIRAJA MALAYSIA memang benar-benar baik kualitasnya maka simpang siur dan jungkir baliknya situasi yang memanas belakangan ini tidak akan menjadi seburuk saat ini.
Gelar demi gelar diberikan kepada setiap KAPOLRI yang menjabat dan pejabat-pejabat Kepolisian di Indonesia.
Untuk apa gelar demi gelar itu diberikan kalau ternyata di panggung realita, ternyata tak berfungsi maksimal untuk kepentingan 2 negara yang bersahabat dan bersaudara.
Ya betul, Konsulat Jenderal RI di Johor yang wajib menangani permasalahan ini secara langsung.
Tetapi, di jalur-jalur non formal, apakah tidak terpikir oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menkopolhukkam Djoko Suyanto, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Sutanto dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa untuk mencarikan format atau kerangka penyelesaian yang lebih “manis dan ampuh ?”
Bayangkan, Duta Besar RI di Malaysia adalah seorang MANTAN KAPOLRI.
Menkopolhukkam Indonesia adalah seorang MANTAN PANGLIMA TNI.
Dan Kepala BIN juga adalah seorang MANTAN KAPOLRI.
Foto : (Kiri ke Kanan) Menkopolhukkam Djoko Suyanto, Presiden SBY, Kapolri BHD & Panglima TNI Djoko Santoso
Tiga orang Jenderal berbintang 4 (Purnawirawan), tak bisa berembuk secepatnya mencarikan format dan kerangka penyelesaian yang sangat cepat dan tepat untuk segera melobi KEPOLISIAN DIRAJA MALAYSIA ( terutama melobi seorang pejabat kepolisian setingkat KAPOLSEK JOHOR BAHRU MALAYSIA ? )
Dimana logikanya kalau untuk menghubungi seorang KAPOLSEK JOHOR BAHRU MALAYSIA saja, Konsulat Jenderal RI di Johor Bahru sampai harus menelepon salah seorang kenalannya di lingkungan Istana Malaysia ?
Indonesia seperti tidak punya kemampuan melobi yang setara dan berkualitas.
Kita punya MARKAS BESAR KEPOLISIAN INDONESIA.
Kita sudah membangun hubungan baik dan kerjasama yang sangat kuat dengan pihak MALAYSIA di bidang keamanan yang melibatkan INSTANSI KEPOLISIAN antar 2 negara.
Apa gunanya kerjasama selama ini ?
Sekali lagi, dimana logikanya pejabat penting setingkat Konsulat Jenderal RI di Johor Bahru Malaysia bisa diabaikan dan tidak dianggap oleh pejabat kepolisian tingkat “menengah” yaitu setara dengan KAPOLSEK ?
Foto : (Kiri ke Kanan) Menkopolhukkam Djoko Suyanto, Panglima TNI Djoko Santoso, Kapolri Jenderal BHD, Kepala BIN Jenderal Sutanto dan Jaksa Agung Hendarman Supandji
Yang harus dimintai pertanggung-jawabannya di Indonesia adalah Kantor Kementerian Koodinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (POLHUKKAM) !
Detik pertama laporan penangkapan itu diterima, buat dong rapat “darurat” antar pejabat dibawah koordinasi Kantor Kementerian Bidang POLHUKKAM.
Sebab Kantor Kementerian POLHUKKAM membawahi begitu banyak Menteri dan Pejabat Setingkat Menteri yang sangat menjadi tulang punggung Indonesia di bidang politik, hukum dan keamanan yaitu Kepala Badan Intelijen Negara, Menteri Pertahanan RI, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Kapolri, Panglima TNI dan Jaksa Agung.
Salah satu KEBIASAAN BURUK Presiden SBY adalah lamban merespon.
Kalau permasalahannya sudah sangat genting dan penting, tidak bisa Duta Besar RI di Malaysia ( apalagi Konsulat Jenderal RI di Johor Bahru ) dibiarkan “sendirian” menyelesaikan kasus penangkapan itu.
Turun tangan dong pejabat-pejabat di pusat !
Apa saja kerjanya di ibukota kalau untuk mencari formula penyelesaian yang “tercepat, terbaik dan paling tepat”, ternyata tak bisa.
Bikin malu saja kalau dari sekian banyak perwira menengah dan perwira tinggi di MARKAS BESAR KEPOLISIAN INDONESIA, tidak ada satupun yang bisa diandalkan untuk menjadi juru penghubung dan pelobi yang handal.
Maaf Bapak Presiden, fokus permasalahan disini adalah bersentuhan dengan sebuah instansi penting di Malaysia yang bernama KEPOLISIAN DIRAJA MALAYASIA.
Betul kan ?
Lalu apakah REPUBLIK INDONESIA ini tidak punya MARKAS BESAR KEPOLISIAN yang menjadi mitra sejajar dengan KEPOLISIAN DIRAJA MALAYSIA ?
Mereka adalah mitra kerja yaitu antar instansi KEPOLISIAN.
Kerahkan dong POLRI disini untuk mem-back up Kedutaan Besar RI di Malaysia ( khususnya Konsulat Jenderal RI di Johor Bahru Malaysia ).
Kalau Mantan Kapolri kita ( yang notabene adalah Duta Besar RI di Malaysia) tidak bisa dengan cepat berbicara dengan KEPALA KEPOLISIAN DIRAJA MALAYSIA, bukankah kita masih punya pejabat penting lainya yaitu KAPOLRI Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri.
Kalau setingkat Kapolri meminta berbicara dengan Kepala Kepolisian Diraja Malaysia, apakah akan ditolak ?
Rasanya sih tidak akan ditolak.
Tetapi yang perlu diingat disini, Kapolri tidak mungkin bertindak sendirian.
Disinilah diperlukan KOORDINASI dari pejabat yang bernaung di bawah KANTOR KEMENTERIAN POLHUKKAM.
Berikan tugas dan perintah kepada Kapolri untuk menghubungi Kepolisian Diraja Malaysia.
Perintah itu bisa datang dari Presiden SBY atau Menko Polhukkam Djoko Suyanto.
Kacaunya situasi ini harus menjadi pelajaran penting bagi Kantor Kementerian POLHUKKAM.
Bikin malu kalau ternyata Kantor Kementerian POLHUKKAM hanya bersikap pasif menunggu.
Sebab Kantor Kementerian dan Pejabat setingkat menteri yang ada dibawah koordinasi Kantor Kementerian POLHUKKAM, adalah instansi yang sangat penting dalam urat nadi bidang politik, hukum dan keamanan Indonesia.
Tanpa bermaksud mengecilkan arti kalangan DIPLOMAT INDONESIA, tugas mereka dalam bidang DIPLOMASI harus didukung, diperkuat dan dilengkapi dengan semua kekuatan yang kita punya.
Jadi kesalahan terbesar dari kasus ini adalah ketidak-mampuan jajaran POLHUKKAM merespon dengan cepat dan tepat.
Lihat dan kenali dulu kasus yang sedang terjadi !
Instansi apa yang sedang bermasalah dengan pihak Indonesia ?
Setelah didalami, baru carikanlah dengan cepat formula penyelesaian terbaik untuk mendukung ( mem-back-up ) Konsulat Jenderal RI di Johor Bahru dan KBRI di Malaysia.
Jangan biarkan mereka sendirian menyelesaikan kasus yang berhadap-hadapan dengan sebuah INSTANSI KEAMANAN di negara sahabat.
Lalu hal lain yang perlu dikritik dari kinerja KEPOLISIAN kita adalah dalam mengamankan aksi unjuk rasa di depan Kedutaab Besar Malaysia.
Hei bung ( anda sekalian aparat kepolisian di lapangan ), mengapa didiamkan TINJA-TINJA itu dilemparkan ke Kedutaan Besar Malaysia ?
Amankan dong !
Memang, Undang Undang di Indonesia ini membenarkan setiap warga negara menyampaikan aspirasi dan pendapatnya.
Tapi kira-kira dong bung, masak sampai urusan TAIK dibiarkan dilempari ke Kantor Perwakilan Negara Sahabat ?
Apa alasan yang bisa membenarkan tindakan itu ?
Janganlah begitu sebab segala sesuatu harus punya ukurannya.
Ilustrasi yang bisa disampaikan disini, sederhana saja.
Ketika para demonstrans di Jakarta membawa seekor KERBAU untuk ikut berunjuk rasa secara DAMAI, POLRI langsungburu-buruk melarang setiap mahluk bernama KERBAU untuk dibawa-bawa lagi bila hendak menyindir penguasa di negeri ini.
Apalagi TAIK, pantaskah TAIK alias TINJA dilemparkan ke Kantor Perwakilan Asing di negara kita ?
Maaf, kalau dalam hal ini yang harus dipersalahkan adalah POLISI yang bertugas di lapangan.
Janganlah membuat situasi ini menjadi lebih kacau, buruk, kusut dan hancur-hancuran.
Setelah diurai seperti ini, kita harus sadar bahwa ternyata pihak INDONESIA yang tidak mampu berkoordinasi dan solid dalam menyelesaikan permasalahan secara komprehensif.
Semua permasalahan, pasti ada solusinya.
Jangan diperlebar dan dibuat menjadi lebih “kotor” dampaknya.
Jadi kesimpulannya, mari bersabar ( apalagi ini masih dalam suasana bulan suci RAMADHAN ).
Indonesia dan Malaysia adalah dua sahabat yang saling membutuhkan, di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Maksimalkanlah semua “kekuatan” yang dimiliki Indonesia.
Lalu disinergikan untuk menjadi sebuah kekuatan yang jauh lebih sempurna dalam menyelesaikan setiap permasalahan apapun juga.
Bersahabatlah dengan santun.
Kita tak perlu menuding muka Malaysia sebab kitapun sebagai sebuah bangsa TIDAK LEBIH BAIK dari negara manapun juga yang kita anggap baik.
Jangan juga ada yang merekayasa aksi-aksi unjuk rasa yang brutal dan kotor sebab sesungguhnya Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, pastilah mengetahui dan menyadari kesucian bulan RAMADHAN ini sehingga emosi yang brutal tak mungkin di ekspresikan secara lepas selepas-lepasnya.
Taik atau TINJA itu tempatnya di kakus. Bukan untuk dilempari ke Kedutaan Besar Asing.
Kitapun tak akan pernah mau jika ada KBRI kita di seluruh dunia ini dilempari TAIK atau TINJA.
Sekali lagi, mari bersahabat dengan lebih santun.
Entah itu dengan Malaysia atau negara-negara lainnya.
Mari tetap saling mengulurkan tangan tanda persahabatan, khususnya dengan MALAYSIA.
Menjaga UKHUWAH ISLAMYAH sesama negara muslim.
Menjaga RASA SENASIB & SEPENANGGUNGAN sesama Anggota ASEAN.
Menjaga rasa persaudaraan sebagai TETANGGA yang baik dan saling rukun.
(MS)
Menyoal istilah "Teroris Aceh", Polri Jangan Asbun Kotori Nama Baik Serambi Mekkah
Habis Video Porno Terbitlah Ustadz Baasyir, Awas Post Power Syndrome Terorisme
Mau Pensiun BHD Obral Mutasi, Singkirkan Gories Mere & Densus Kumat Jualan Kecap Teror
Citra Terpuruk, Berlakukan RUU Kamnas Agar Polri Tak Memburuk
Jakarta 13/8/2010 (KATAKAMI) Sudah sejak 8 bulan terakhir ini, Markas Besar Kepolisian Indonesia sedang antusias mengembar-gemborkan maraknya aksi terorisme di Nangroe Aceh Darussalam (NAD).
Bahkan periode bulan Januari 2010 – Maret 2010, terdapat 13 orang warga sipil di Aceh yang tewas karena terkena peluru nyasar Densus 88 Anti Teror Polri.
Dikira teroris tetapi belum pernah ada proses hukum yang dilakukan atas diri korban — apakah terbukti mereka melakukan tindak pidana terorisme ? –.
Dan yang lebih memprihatinkan, selama 8 bulan terakhir ini juga sudah sangat sering digunakan istilah “TERORIS ACEH” oleh Polri.
Tidak tanggung-tanggung, stigma dan istilah “TERORIS ACEH” itu selalu menjadi jargon alias pernyataan resmi Kepolisian Indonesia dalam setiap jumpa pers di hadapan wartawan dari dalam dan luar negeri.
Dan puncaknya, pemimpin Pondok Pesantren Ngruki (Solo) Ustadz Abu Bakar Baasyir diserbu dan ditangkap secara brutal saat berada dalam perjalanan di kawasan Banjar pada hari Senin (9/8/2010) karena dikaitkan dengan “TERORIS ACEH”.
Polri seakan pindah kapling dari Poso ke Aceh
Beberapa tahun lalu, Poso (Sulawesi Tengah) yang menjadi lahan basah penanganan terorisme oleh Densus 88 Anti Teror.
Paling sedikit sudah 2 kali, Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah mengumumkan bahwa Densus 88 Anti Teror melakukan PELANGGARAN HAM di Poso (Sulawesi Tengah).
Pertama, pada waktu Densus 88 Anti Teror menembaki secara BRUTAL Pondok Pesantren Amanah di Tanah Runtuh (POSO) persis di saat UMAT ISLAM disana menggemakan takbir di malam takbiran tahun 2006.
Akibat peristiwa ini, POSO memanas dan perwira tinggi beragama KRISTEN yang diduga menjadi OTAK penembakan brutal itu diusir alias diminta untuk angkat kaki dari Poso.
Bahkan ketika itu, Brimob juga diusir oleh masyarakat setempat karena dianggap menjadi dalang brutalisme yang menembaki pondok pesantren.
Suasana yang memanas akibat brutalisme Densus 88 Anti Teror Polri di Poso, membuat BADAN INTELIJEN NEGARA sampai harus “kerja keras” melobi para pemuka agama dari lintas agama agar suasana bisa sejuk kembali.
Komnas HAM juga sampai harus mengirim tim khusus untuk menyelidiki peristiwa itu.
Hasil dari penyelidikan itu, Komnas HAM menyatakan polisi MELANGGAR HAM.
Kedua, pada waktu Densus 88 Anti Teror menembali perumahan warga sipil di Gebang Rejo (Poso, Sulawesi Tengah) tanggal 22 Januari 2007 yang menewaskan 13 orang warga sipil.
Penyerangan tanggal 22 Januari 2007 itu adalah serangan kedua sebab 11 hari sebelumnya yaitu tanggal 11 Januari 2007, Densus 88 Anti Teror sudah lebih dulu melakukan penyerangan brutal.
Tetapi korban jiwa berjatuhan pada tanggal 22 Januari 2007.
Dengan dalih mengejar “TERORIS POSO” yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), perumahan warga di Gebang Rejo ditembaki secara brutal oleh Densus 88 Anti Teror.
Tigabelas orang MATI secara mengerikan terkena tembakan.
Dan tidak ada satupun dari warga sipil yang tewas ini masuk dalam DAFTAR PENCARIAN ORANG (DPO).
Dengan kata lain, Densus menembak mati 13 orang warga sipil yang tidak bersalah.
Komnas HAM juga mengirimkan tim khusus untuk menyelidiki peristiwa itu.
Hasilnya sama seperti penyelidikan Komnas HAM pada tragedi penembakan Pondok Pesantren di malam takbiran tahun 2006), Komnas HAM menyatakan polisi MELANGGAR HAM.
Pelanggaran HAM berikutnya, pindah ke “TERORIS JAWA”.
Di hadapan anaknya yang masih kecil, Abu Dujana yang disebut-sebut sebagai Panglima Sayap Militer Al Jamaah Al Islamyah (tanggal 9 Juni 2007), Densus 88 Anti Teror menembak Abu Dujana di bagian paha.
Dan penembakan brutal itu disaksikan secara langsung oleh anak Abu Dujana yang masih dibawah umur.
Peta Aceh
Kembali soal penggunaan dan penyebutan istilah “TERORIS ACEH”.
Mengapa hal ini dipermasalahkan ?
Baiklah, mari kita garis-bawahi istilah “TERORIS ACEH”.
Patut dapat diduga dengan mengatas-namakan perang melawan teror, Polri telah melakukan fitnah dan pembunuhan karakter terhadap Nangroe Aceh Darussalam yang dikenal sebagai SERAMBI MEKKAH di Indonesia.
Pasca bencana alam Tsunami (26 Desember 2004) yang menewaskan ratusan ribu rakyat Aceh, solidaritas dan kecintaan dunia internasional terhadap Aceh begitu besar dan tulus sekali.
Bertahun-tahun komunitas internasional hadir di Aceh untuk berada di samping rakyat Aceh menjalani masa-masa sulit rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana alam Tsunami.
Janda dan anak-anak yatim piatu juga pasti masih sangat banyak yang hidup sebatang kara di Aceh, Serambi Mekkah yang tingkat ke-Islamannya sangat amat luhur.
Penderitaan panjang rakyat Aceh akibat konflik senjata antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia ( yang menugaskan Tentara Nasional Indonesia untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI), seakan mencapai klimaksnya pada tragedi Tsunami.
Pertarungan panjang antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah secara resmi di akhiri dengan ditanda-tanganinya Perjanjian Damai di Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 atau 8 bulan pasca Tragedi Tsunami.
Foto : Perjanjian Damai Helsinki yang disaksikan Mantan Presiden Finlandia Marti Ahtisaari
Artinya pada bulan Agustus 2010 ini, Pemerintah Indonesia akan memperingati 5 tahun Perjanjian Damai Helsinki.
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah masa lalu.
Sebab, NKRI adalah harga mati !
Tetapi siapa yang tidak tahu bagaimana kuat, lengkap dan canggihnya persenjataan serta alat-alat komunikasi yang dimiliki kelompok Gerakan Aceh Merdeka selama puluhan tahun ?
TNI, pasti punya informasi yang sangat lengkap mengenai semuanya itu.
TNI kalah jauh dari TNA alias TENTARA NASIONAL ACEH dari segi persenjataan.
Tetapi selama kontak senjata terjadi, TNI berusaha bertugas semaksimal mungkin.
Dan TNI memang tak perlu diragukan lagi kemampuannya untuk mengatasi setiap potensi atau ancaman gerakan separatisme yang seperti apapun di republik Indonesia yang tercinta ini.
Entah itu Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM), semua bermuara pada gerakan ala klandeistein yang memperjuangkan pemisahan diri untuk membentuk negara baru di dalam Negara Kesatuaan Republik Indonesia.
Namun harus diakui bahwa di era Orde Baru, penetapan DOM atau Daerah Operasi Militer di Aceh banyak dikaitkan dengan Pelanggaran HAM.
Tapi itu dulu, semasa Orde Baru.
Walaupun pada bulan Maret 2010 lalu, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri pernah mengatakan bahwa “TERORIS ACEH” tidak terkait Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetapi satu yang terpenting disini adalah POLRI telah lancang menggunakan istilah TERORIS ACEH.
Yang hendak dipertanyakan disini adalah PAYUNG HUKUM apa yang dipakai oleh Polri ( dalam ini Densus 88 Anti Teror ) untuk memberikan stigma buruk bahwa setiap orang yang mereka tangkapi dari wilayah Nangroe Aceh Darussalam adalah “TERORIS ACEH” ?
Ilustrasi gambar : Shut Up & Listen !
Hei Polri, tutup mulut kalian !
Jaga mulut kalian !
Jadilah aparat penegak hukum yang memang menguasai dan mampu melaksanakan dalil-dalil hukum itu secara baik dan benar !
TERORIS ACEH, apa maksud dari istilah ini ?
TERORIS POSO, TERORIS ACEH, kok gampang sekali memberikan cap atau stigma buruk yang patut dapat diduga berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).
Mengapa gegabah dan berani sekali menyebutkan sebuah istilah yang bisa mengorbankan sesuatu hal yang tidak sesungguhnya tidak berkaitan dan tidak bersentuhan samasekali dengan TERORISME.
Sudah delapan bulan, Polri asyik sendiri memakai, memfitnah dan menyebarkan pembunuhan karakter yang sangat terstruktur terhadap Nangroe Aceh Darussalam melalui istilah “TERORIS”.
Memakai kata TERORIS sudah salah sebab belum ada pembuktian hukum melalui proses peradilan di Pengadilan.
Apalagi menambahkan istilah TERORIS itu dengan nama Wilayah atau Kesukuan !
Begitu banyak orang yang menjadi keturunan — dimana dalam diri mereka mengalir darah ACEH –.
Pemilihan dan penggunaan istilah “TERORIS ACEH” mengotori nama baik Aceh sebagai SERAMBI MEKKAH INDONESIA.
Dan mencemari nama baik rakyat Aceh secara keseluruhan.
Mencermari nama baik umat Islam di Aceh.
Tindakan Polri ini sudah tidak bisa lagi ditolerir.
Rakyat Indonesia, khususnya para Ulama, Tokoh-Tokoh Masyarakat dan Umat Islam di Aceh, harus bangkit berdiri “melawan” arogansi Polri menyeretdan membawa-bawa nama Aceh dalam perang melawan teror.
Kalau istilah “TERORIS ACEH” itu hanya digunakan di kalangan terbatas Mabes Polri, silahkan saja dipakai istilah “TERORIS ACEH”.
Tetapi, istilah ini dipakai sebagai istilah resmi dari Markas Besar Kepolisian Indonesia.
Dari kacamata HUKUM saja, pemilihan dan penggunaan istilah “TERORIS ACEH” sudah salah besar.
Mengapa ?
Sebab bila Densus 88 Anti Teror Polri melakukan penangkapan terhadap warga sipil dengan tuduhan dan menyebut orang-orang tangkapan itu sebagai TERORIS, ini sama dengan melanggar ASAS HUKUM PRADUGA TAK BERSALAH.
Ilustrasi gambar
The Presumption of innocence.
The presumption of innocence (the principle that one is considered innocent until proven guilty) is a legal right of the accused in a criminal trial, recognised in many nations. The burden of proof is thus on the prosecution, which has to collect and present enough compelling evidence to convince the trier of fact, who is restrained and ordered by law to consider only actual evidence and testimony that is legally admissible, and in most cases lawfully obtained, that the accused is guilty beyond a reasonable doubt. In case of remaining doubts, the accused is to be acquitted. This presumption is seen to stem from the Latin legal principle that ei incumbit probatio qui dicit, non qui negat (the burden of proof rests on who asserts, not on who denies).
Atau dalam bahasa Indonesia :
Asas hukum Praduga Tak Bersalah atau “Presumption of Innocence” adalah asas di mana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah. Asas ini sangat penting pada demokrasi modern dengan banyak negara memasukannya kedalam konstitusinya.
Asas Hukum Praduga Tak Bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggeris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik –liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) [2] berdasarkan sistem hukum Common Law ( sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law).
Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process tsb. Friedman(1994) menegaskan bahwa, prinsip ”due process” yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau,[3] kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial.
Asas Praduga Tidak Bersalah berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian? Karena proses pemeriksaan pengadilan yang ”fair and impartial” telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang disampaikan di persidangan, dan keterangan saksi-saksi (a charge dan a de-charge) telah memunculkan keyakinan mereka untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang telah mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian materiel maupun imateriel.
Payung hukum apapun yang dipakai oleh Densus 88 Anti Teror untuk melakukan tugas-tugas pemberantasan terorisme, satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah HUKUM harus ditegakkan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
The Law is the Law.
Hukum adalah hukum.
Seseorang hanya bisa disebut TERORIS jika ia memang sudah menjalani peroses peradilan dan dinyatakan TERBUKTI BERSALAH oleh Majelis Hakim yang mengadilinya di Pengadilan.
Sadarkah POLRI bahwa mulut mereka selama delapan bulan ini sudah terlalu LANCANG.
Patut dapat diduga mulut mereka sudah berbau fitnah dan mereka tak pantas lagi disebut sebagai APARAT PENEGAK HUKUM.
Bahkan UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TERORISME pun, tidak akan bisa memberikan pembenaran atau legalitas yang memungkinkan POLRI untuk menyebut semua orang tangkapannya sebagai TERORIS !
Mengapa istilah TERORIS ACEH ini pantas untuk diprotes, digugat, dikecam dan dicibir beramai-ramai oleh Ulama, Tokoh Masyarakat dan Umat Islam di Nangroe Aceh Darussalam.
Kelancangan Polri memilih dan menggunakan istilah TERORIS ACEH sudah mengotori Serambi Mekkah dengan opini publik yang terbangun secara otomatis dari pernyataan-pernyataan dan pemberitaan yang berkesinambungan dari pihak Polri selama 8 bulan terakhir ini.
Foto : Dampak kehancuran akibat Tsunami di ACEH
Terlalu kejam rasanya jika memakai nama ACEH untuk istilah yang sangat sensitif.
Penderitaan rakyat Aceh sudah sangat panjang, penuh onak duri dan melalui jalan panjang yang berliku selama puluhan tahun.
Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama puluhan tahun, pasti karna faktor kemiskinan, ketidak-adilan dan tidak adanya asas persamaan dalam memperoleh keuntungan terkait sumber daya alam di wilayah Serambi Mekkah.
Tragedi Tsunami tahun 2004, memaksa rakyat Aceh untuk lebih berpasrah pada kegetirn hidup yang seakan harus berkubang dalam duka serta airmata yang berkepanjangan.
Hidup di barak-barak darurat.
Bau bangkai dimana-mana.
Trauma atas dasyhatnya gulungan air bah Tsunami yang menurut seorang anak kecil ( yang menjadi korban Tsunami, gulungan air bah itu setinggi pohon kelapa ), tidak bisa dilepaskan atau hilang begitu saja.
Apa mau Polri sebenarnya sehingga mereka sesumbar menggunakan istilah TERORIS ACEH ?
Jangan melakukan kebohongan publik, fitnah atau pembunuhan karakter !
Tidak tertutup kemungkinan, semua persenjataan dari ( bekas ) Gerakan Aceh Merdeka itu masih ada yang tersimpan dan tersebar dimana-mana.
Jangan anggap enteng terhadap kecanggihan persenjataan GAM di masa kejayaan mereka dulu.
Bahkan persenjataan dan alat-alat komunikasi TNI, jauh ketinggalan di banding persenjataan dan alat-alat komunikasi GAM.
Perlu pendalaman dan penanganan yang khusus untuk menelusuri semua dugaan itu.
Dengan konsekuensi, bisa mencederai kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
POLRI (khususnya Densus 88 Anti Teror) sudah tak bisa lagi dibiarkan “SENDIRIAN” dalam penanganan terorisme di wilayah manapun di negara ini.
Cukup !
Sertakan instansi lain yang punya berkemampuan sama, atau bahkan lebih tinggi dari Densus 88 Anti Teror yang baru “seumur jagung usianya”.
Densus 88 Anti Teror dibentuk atas dukungan sebuah negara adidaya pada tahun 2003.
Detasemen Khusus yang satu ini tak bisa lagi dibiarkan petantang petenteng kesana kemari atas nama perang melawan teror, mengumbar sesumbar secara sepihak tentang penanganan terorisme.
Harus ada koordinasi !
Harus ada kerjasama yang sangat amat baik, kuat dan menyeluruh antara BADAN INTELIJEN NEGARA, TNI & POLRI dalam penanganan terorisme.
Foto : Dampak kehancuran akibat Tsunami di Aceh
Hei Densus, tahu apa kalian soal Aceh ?
Kalian saja baru dibentuk tahun 2003 atas “inisiatif dan kebaikan hati” dari sebuah NEGARA ASING.
Sementara konflik di Aceh sudah terjadi selama puluhan tahun.
Dan konflik berdarah itu sudah berakhir secara resmi pada tanggal 15 Agustus 2005.
Lantas, apakah bisa diterima jika Densus 88 Anti Teror datang mengudak-udak “TERORIS ACEH” secara heroik dan hebat di panggung kehidupan kita berbangsa dan bernegara ?
Polri, kalian sudah terlalu LANCANG menghakimi Nangroe Aceh Darussalam dengan menggunakan istilah TERORIS ACEH.
Polri, kalian sudah terlalu besar kepala di balik jargon-jargon kesukaan sebuah negara adidaya terkait “WAR ON TERROR”.
Hormatilah Nangroe Aceh Darussalam sebagai sebuah wilayah yang tingkat ke-Islamannya memang sangat tinggi.
Kendalikan mulut kalian dalam berbicara dan menggunakan istilah “TERORIS ACEH”.
Istilah itu kalian kenalkan dan kalian publikasikan secara terbuka ke media masa dalam dan luar negeri.
Apa mau kalian, Polri ?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak boleh mendiamkan hal ini terjadi terus menerus.
Jagalah perasaan rakyat Aceh.
Jangan lukai lagi hati mereka.
Kasihani mereka.
Kasihani Aceh.
Jangan asal bunyi alias ASBUN saja.
Foto: Panglima TNI, Kepala BIN & Kapolri
Efektifkan BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME (BNPT).
Sudahi langkah Polri yang menerus-menerus mengedepankan ego sektoral di balik jargon “WAR ON TEROR”.
Tak bisa lagi, Polri dibiarkan sendirian.
Sudah kebablasan !
Nangroe Aceh Darussalam adalah SERAMBI MEKKAH INDONESIA yang harus dijaga nama baiknya.
Nangroe Aceh Darussalam adalah wilayah Islami yang tingkat keimanannya terhadap ajaran-ajaran agama Islam, sangat amat tinggi.
Tetapi jangan salah kaprah menangani terorisme sehingga berdampak buruk pada nama baik Nangroe Aceh Darussalam.
Delapan bulan sudah berlalu, jika hal ini tidak diingatkan maka bisa mendatangkan masalah yang lebih serius di Serambi Mekkah Indonesia.
Sadarilah itu!
(MS)
Habis Video Porno Terbitlah Ustadz Baasyir, Awas Post Power Syndrome Terorisme
Citra Terpuruk, Berlakukan RUU Kamnas Agar Polri Tak Memburuk
Densus Bukan Likuidasi Tapi Ganti Nama, Akal-Akalan Merengek Ke Amerika?
Jurus Polri Menutup Aib & Restrukturisasi, Pengalihan Isu Ke Video Porno?
Bersuara Tentang Ustadz Abu Bakar Baasyir, Mari Lawan Semua “Terorisme”
Jakarta 10/8/ 2010 (KATAKAMI) Mengapa penangkapan Ustadz Abu Bakar Baasyir diduga merupakan jurus pamungkas Polri ( dalam hal ini Densus 88 Anti Teror ) sebagai dugaan akal-akalan merengek dan mengemis bantuan dana ?
Tidak lama lagi, seluruh satuan Densus 88 di seluruh Polda yang tersebar di wilayah Indonesia akan segera dihapuskan.
Sebagai cikal bakal pengganti, sudah disiapkan Crisis Respond Team (CRT) yang sedang dilatih di Amerika Serikat.
Densus 88 Anti Teror hanya bersarang di Markas Polri sebagai pengambil kebijakan tok.
Jadi, kalau Densus 88 Anti Teror menangkap Ustadz Abu Bakar Baasyir pada hari Senin (9/8/2010) maka inilah aksi heroik yang dilakukan Densus 88 Anti Teror di ujung hidup mereka.
Dengan kata lain, sudah mau dibinasakan keberadaannya, tetapi tampaknya perlu tetap menunjukkan eksistensi diri.
Apa yang bisa dimaknai dari penangkapan Ustadz Abu Bakar Baayir ?
Apakah patut dapat diduga ada kelompok tertentu di dalam Polri sendiri yang diam-diam bermanuver memanfaatkan operasi penangkapan Ustadz Abu Bakar Baasyir ini sebagai ajang cari muka dan jual diri agar namanya yang dilirik sebagai calon Kapolri baru (mengingat dalam beberapa minggu ke depan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah harus mengajukan nama calon Kapolri ke DPR) ?
Apakah patut dapat diduga ada oknum perwira tinggi tertentu di dalam internal Polri yang mengidap sakit POST POWER SYNDROME sehingga jabatan yang sebenarnya diemban dari pemerintah untuk menangani masalah penanganan narkoba tidak dilaksanakan karena lebih “basah” jika turun langsung ke lapangan mengendalikan penanganan terorisme ?
Foto : Gories Mere
Anti Klimaks HANI, Datuk Gories Mere Siapkah Ditolak Ulama Islam Lagi ?
Apa Kata Dunia Ada “Big Mafia” Di Indonesia, Sudah 2 Tahun Mejeng di BNN Copot Gories Mere
SBY Berantaslah Mafia Narkoba, GORIES MERE Buka Topengmu !
Apakah patut dapat diduga akan ada lagi PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA yang akan dilakukan Komisaris Jenderal Gories Mere (Kalakhar Badan Narkotika Nasional) di tahun 2010 ini ( sebab dalam persidangan di Pengadilan, terdakwa kasus terorisme Muhammad Jibril mengemukakan bahwa sepanjang menjalani pemeriksaan dirinya disiksa, dipukuli, ditelanjangi, difoto dalam keadaan telanjang dan diancam akan dipermalukan lewat foto-foto bugil dalam keadaan babak belur jika Muhammad Jibril tidak mau menanda-tangani Berita Acara Pemeriksaan alias BAP yang disodorkan penyidik brutal dari Densus 88 Anti Teror) ?
Padahal Polri punya Peraturan Kapolri atau PERKAP nomor 8 tentang PELAKSANAAN HAK ASASI MANUSIA DALAM TUGAS-TUGAS POLRI, yang memerintahkan kepada semua penyidik Polri untuk tidak melakukan penyiksaan terhadap para terperiksa / tahanan.
Keterangan Muhammad Jibril di muka Pengadilan itu bukanlah kisah di masa kehidupan Adam dan Hawa.
Tetapi fakta yang terjadi di tahun 2010 ini ( persidangan Muhammad Jibril digelar pertama kali bulan Februari 2010).
Apakah patut dapat diduga ada pihak tertentu di dalam internal Polri yang ikut juga menyusupkan kepentingannya agar aib serta borok Polri seperti menjamurnya rekening-rekening montok kalangan perwira tinggi, kasus tabrak lari terhadap MAHASISWA yang berunjuk rasa menentang kenaikan harga BBM beberapa tahun lalu, dugaan adanya tren POLIGAMI di kalangan perwira tinggi yang sempat dilontarkan Mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji dan jurus obral mutasi yang diduga dilakukan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri di ujung masa kekuasaannya ?
Apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak punya sense of crisis, mengeluh kepada rakyat bahwa dirinya mendapat ancaman keamanan tetapi di tengah masyarakat Indonesia, terjadi anarkisme dan penyiksaan terhadap kelompok minoritas KRISTEN yaitu jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan atau HKBP di Jakarta Timur ?
Tidak usah mendramatisir bahwa seolah-olah Kepala Negara terancam keselamatannya agar mendapat simpati publik. Sementara rakyatnya sendiri teraniaya.
Ngoceh terus soal terorisme.
Sementara kebebasan beragama kepada rakyatnya, TIDAK ADA !
Memalukan kalau hidup 12 tahun pasca REFORMASI, masih ada penyiksaan dan penganiyaan terhadap kelompk minoritas non muslim di negara ini.
Sementara Presidennya diam saja, malah ngoceh soal terorisme.
Foto : Irjen Edward Aritonang
Lewat jumpa pers di Mabes Polri pada hari Senin (9/8/2010), Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Edward Aritonang menjawab pertanyaan KATAKAMI.COM bahwa penangkapan Ustadz Abu Bakar Baasyir ini bukanlah pengalihan isu dari kasus-kasus rekening gendut dan bukan juga merupakan akal-akalan dalam rangka persaingan menjadi Kapolri.
Edward Aritonang yang segera akan menempati pos barunya sebagai Kapolda Jawa Tengah menjawab lagi pertanyaan KATAKAMI.COM yang lainnya bahwa Mabes POLRI memberikan jaminan penuh bahwa Ustadz Abu Bakar Baasyir tidak akan mendapatkan tindakan fisik dalam menjalani pemeriksaan di tangan penyidik Densus 88 Anti Teror. Edward mengingatkan pada penyidik Densus 88 Anti Teror bahwa Polri memiliki peraturan resmi yaitu PERKAP nomor 8 yang melarang keras para penyidik melakukan tindak kekerasan ( yang brutal ? ) kepada para terperiksa.
Edward Aritonang juga meluruskan informasi yang termasuk dalam pertanyaan KATAKAMI.COM, apakah benar operasi penangkapan Ustad Abu Bakar Baasyir dipimpin langsung oleh Komjen Gories Mere yang merupakan Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN) ?
“Operasi penangkapan ini dipimpin oleh Wakil Kepala Densus 88 Anti Teror yang bernama Kombes Syafei, jadi bukan seperti yang ditanyakan tadi” jawab Edward kepada KATAKAMI.COM dalam acara jumpa pers di Mabes Polri.
Foto : Gories Mere ( Tengah )
Inilah SMS Kiriman Komjen Gories Mere Mengemis Perhatian
Hidup Terus Berputar, GORIES …..
Tidak salah jika wartawan menanyakan hal ini sebab pada faktanya saat melakukan pemeriksaan terhadap MUHAMMAD JIBRIL saja, nama Komjen Gories Mere disebut langsung di muka Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (periode Februari 2010 – Juni 2010) karena perwira tinggi Flores inilah yang memerintahkan penyiksaan, pemukulan, penelanjangan dan pemotretan terhadap Muhammad Jibril sebagai brutalisme dan tindak kekerasan penyidik untuk memaksa terperiksa menanda-tangani BAP sesuai kemauan GORIES MERE ?
Gories Mere memang nyata-nyata ada hadir langsung dan ada di hadapan Muhammad Jibril saat dihajar, disiksa, ditelanjangi dan difoto Densus 88 dalam keadaan bugil.
Luar biasa !
Gila betul …
Alangkah tidak tahu dirinya, jika ada seorang perwira tinggi berbintang 3 yang masih gatal ingin menangani kasus-kasus terorisme yang sudah bukan menjadi domain tugasnya.
Kasihan, ibarat mengidap sakit POST POWER SYNDROME …
Bayangkan jika tugas dari polisi level bawah dan level menengah, diambil alih dan dikendalikan langsung oleh level Jenderal berbintang 3.
Densus 88 Anti Teror saja dikepalai oleh Jenderal berbintang 1.
Masak tidak malu masih ingin mendapatkan panggung dalam pentas perang melawan terorisme.
Tolong punya malu sedikit dan sadarilah tugas pokok yang diberikan NEGARA kepada masing-masing pejabat di negeri ini.
Lahan penanganan terorisme ini memang LAHAN BASAH.
Basah sekali !
Bahkan sampai BECEK dan bisa-bisa BANJIR.
Banjir apa ?
Ya, banjir uang.
Uang bantuan dari hasil mengemis ke sana kemari atas nama penanganan terorisme.
Juga lahan pemasukan yang potensial jika menjual EKSKLUSIIVITAS PEMBERITAAN kepada media tertentu dari hasil nepotisme.
Ketika Komjen Gories Mere masih berpangkat Irjen dan menjabat sebagai Wakil Kepala Bareskrim Mabes Polri, ia pernah ditegur secara keras berulang-ulang kali oleh Kapolri yang saat itu masih dijabat oleh Jenderal Polisi Sutanto.
Sebab, atas perintah Gories Mere, semua pemberitaan dari hasil penanganan TERORISME hanya boleh diberitakan di satu media saja.
Pada tahun 2007 itu, Kapolri Jenderal Sutanto sampai harus terkejut ketika ia didatangi sejumlah wartawan senior dari media cetak nasional.
Foto : Jenderal Sutanto & Jenderal Bambang Hendarso Danuri
Wartawan Protes Rahasia Negara Dibocorkan Kepada Satu Media Televisi, Kapolri Sutanto Marah & Menegur Keras Densus 88
Hasyim Muzadi: Jangan Tangani Terorisme dengan Teror
Metode Operasi Antiterorisme Polri Undang Keprihatinan
Buyung Nasution : Main Tembak Mati Teroris, POLRI Tak Sesuai Hukum
“Pak Tanto, berapa sebenarnya uang yang diterima Polri sehingga Densus terus menerus memberikan EKSKLUSIVITAS kepada satu media saja ? Sebutkan angkanya Pak sebab media kami juga SANGGUP untuk membayar kalau memang Polri terdesak butuh UANG lewat cara seperti itu !” kata sejumlah wartawan senior dari harian nasional.
Namun kemarahan para jurnalis yang saat itu sudah sangat kehabisan kesabaran, bisa ditenangkan oleh Jenderal Sutanto.
Sutanto mengatakan bahwa ia sudah MEMERINTAHKAN kepada (Kabareskrim saat itu) Bambang Hendarso Danuri agar jangan ada lagi EKSKLUSIVITAS yang diberikan Densus 88 Anti Teror Polri kepada satu media saja.
Sutanto juga sempat marah besar karena Densus 88 Anti Teror dinilai MEMBOCORKAN RAHASIA NEGARA yaitu hasil-hasil penyidikan yang masih mentah kepada pihak tertentu.
Puncaknya, Gories Mere dicopot dari jabatannya sebagai Wakabareskrim Polri.
Yang ingin disampaikan disini, wahai Densus, pengalaman adalah guru yang terbaik.
Ingatlah bagaimana perjalanan kalian selama ini dalam melaksanaan tugas-tugas penanganan terorisme.
Perjalanan Densus 88 Anti Teror dalam menangani terorisme penuh dengan kerikil-kerikil tajam yang membuat wajah Polri menjadi penuh dengan corengan-corengan.
Tanganilah terorisme secara baik dan benar.
Bukan berdasarkan pesanan pihak lain.
Bukan untuk kendaraan mencapai tujuan tertentu terkait permintaan bantuan dana dari pihak asing tertentu.
Bukan untuk ajang pelampiasan sakit (akut) POST POWER SYNDROME oknum tertentu yang merasa paling berhak menangani kasus-kasus terorisme di Indonesia.
Iya kalau menangani terorisme secara baik dan benar sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Tetapi bagaimana kalau penuh dengan bopeng-bopeng PELANGGARAN HAM ?
Dan satu hal yang juga perlu disampaikan kepada AUSTRALIA, terimakasih untuk PENGHARGAAN yang tinggi kepada Indonesia atas penangkapan Ustad Abu Bakar Baasyir sebab Pemimpin Pondok Pesantren Ngruki Solo ini dianggap sebagai otak pelaku Bom Bali I.
Sahabat kami, AUSTRALIA, coba buka kembali dokumen penting dalam pemerintahan anda.
Foto : Gembong Teroris ALI IMRON
Kok Indonesia Lindungi Teroris Ali Imron, Contempt of Court ?
Memoar Ali Imron Menohok Polri
Cari, apakah nama ALI IMRON, termuat sebagai pelaku utama KASUS BOM BALI I yang menewaskan lebih dari 200 orang warga negara Australia ?
Cari dulu, apakah ada nama ALI IMRON dalam dokumen AUSTRALIA terkait kasus Bom Bali I ?
Barangkali Pemerintah Australia lupa, maka lewat tulisan ini hendak diingatkan kembali bahwa ALI IMRON adalah pelaku utama kasus Bom Bali I yang merakit langsung bom yang diledakkan dengan kekuatan HIGH EXPLOSIVE sehingga ratusan rakyat Australia mati secara mengerikan di Bali !
Kemudian, poin terpenting yang ingin disampaikan disini, TERPIDANA ALI IMRON tidak pernah menjalani masa hukumannya di penjara.
Ali Imron hidup mewah, dibuatkan buku memoar yang mewah dan bisa bebas merdeka karena memutuskan untuk menjadi “INFORMAN” Tim Anti Teror Polri.
Apakah Pemerintah Australia tidak malu kepada Keluarga Korban Bom Bali I, bahwa PEMBUNUH yang sebenarnya ( bahkan yang menjadi pembuat bom dan turun langsung ke lapangan untuk melakukan EKSSEKUSI pemboman ) justru bebas merdeka dan hidup berkemewahan atas biaya oknum petinggi Polri ?
Jangan lupakan RAKYAT AUSTRALIA yang menjadi korban pembunuhan ALGOJO TERORIS ALI IMRON lewat kasus Bom Bali I !
Sejak vonis dijatuhkan majelis hakim tahun 2003, ALI IMRON pura-pura dipinjam oleh Tim Anti Teror Polri dan tidak pernah dikembalikan lagi ke LP Grobokan Bali sampai detik ini.
Foto : Daftar Nama Korban Tewas Bom Bali I
Ingatlah kejahatan kemanusiaan yang satu itu, wahai AUSTRALIA !
Pedih, pedih sekali, jika ada keluarga yang harus kehilangan anggota keluarga yang di cintainya karena kebiadaban TERORISME.
Perdana Menteri Australia JOHN HOWARD pada bulan Oktober 2007 pernah mengamuk dan marah besar kepada INDONESIA karena ketahuan bahwa ALI IMRON makan enak di rumah Brigjen Surya Darma ( tangan kanan Gories Mere ).
Saat itu Surya Darma menjadi Kepala Densus 88 Anti Teror Polri.
Ternyata John Howard baru tahu bahwa Ali Imron ternyata tidak menjalani masa hukumannya di penjara.
Sebelumnya, PM John Howard juga pernah marah besar karena dari pemberitaan di media massa, ketahuan bahwa ALI IMRON enak-enakan ngopi di Starbucks dengan Gories Mere.
Foto : PM John Howard saat mengunjugi lokasi peledakan BOM BALI I
Menyingkap Eksklusifitas Tim Anti Teror
Kasihan Australia karena mereka tidak mengetahui bahwa memang ALI IMRON tidak pernah sekalipun menjalani masa hukumannya di dalam penjara sejak vonis dijatuhkan MAJELIS HAKIM pada tahun 2003.
Dan kalau mau jujur, sebenarnya sangat enak menjadi “TERORIS”.
Mau tahu alasannya ?
Ada oknum polisi yang secara rutin menyantuni keluarga TERORIS setiap bulannya.
Masing-masing keluarga “bekas” teroris, diberi biaya hidup secara beragam yaitu antara Rp. 2 juta sampai Rp. 5 juta.
Sumber KATAKAMI.COM menyebutkan bahwa pihaknya mendapat informasi langsung bahwa pemberian biaya hidup itu tetap dilakukan sampai saat ini dengan dalih pembinaan kepada keluarga bekas terorisme.
Ilmu pembinaan dari mana itu ?
Demi untuk membina orang yang dicap sebagai teroris, maka keluarga disumpal uang berkelimpahan agar (maksudnya) kembali ke jalan yang benar.
Ini kebijakan yang salah kaprah dan sangat tidak mendidik.
Ini kebijakan yang sangat kotor, buruk dan tidak berkeadilan.
Bayangkan, gaji prajurit TNI dan anggota Kepolisian yang berpangkat paling rendah saja, tidak sampai Rp. 2 juta setiap bulannya.
Itupun mereka harus bekerja keras, siang malam, tanpa henti, dengan resiko mengorbankan nyawa dalam tugas ( demi bangsa, negara dan rakyat Indonesia).
Jadi bayangkan, enak betul jadi teroris …
Pura-pura saja jadi teroris agar ditangkap Densus 88 Anti Teror.
Semakin banyak yang ditangkap maka semakin panjang daftar keluarga “binaan” yang harus dibiayai hidupnya secara berkemewahan bertahun-tahun/
Tak perlu kerja keras.
Tak perlu banting tulang.
Lalu pertanyaannnya sekarang, apa yang diharapkan dari keluarga-keluarga binaan itu jika mereka terus menerus dibiayai hidupnya ?
Darimana uang santunan itu didapatkan ?
Rekening atas nama siapa atau YAYASAN mana yang tujuan “mulianya” membiayai hidup sederetan panjang keluarga binaan eks teroris.
Apakah ada bantuan asing yang mengalir ke dalam misi sangat “mulia” ini ?
Apakah PPATK dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mengendus bau busuk tindak pidana korupsi di balik aksi mulia ini ?
Bayangkan kalau kita mendapat uang Rp. 5 juta setiap bulannya, apakah ada “makan siang gratis” di dunia ini ?
Seperti kata pepatah, “ADA UBI ADA TALAS, ADA BUDI ADA BALAS !”.
Jadi, dengan kata lain, banyak sekali permasalahan yang tersembunyi di balik penanganan terorisme di negara ini.
Terorisme adalah kejahatan kemanusiaan yang harus diperangi oleh semua negara.
Terorisme bukan ajang mencari untung dan memperkaya diri sendiri.
Terorisme bukan ajang sok mulia menghamburkan uang ( padahal masih sangat banyak, rakyat Indonesia yang hidup menderita dan tak tahu menahu dengan basahnya ladang terorisme ini ).
Tegakkanlah hukum demi memerangi terorisme itu sendiri.
Dan penegakan hukum terkait terorisme itu, tidak akan bisa dilakukan jika POLRI tetap dibiarkan sendiri dalam menangani terorisme.
Sudah saatnya penanganan terorisme ditertibkan.
Tertibkan semua dokumen penyidikan kasus terorisme !
Tertibkan semua barang bukti kasus-kasus terorisme !
Kumpulkan semua agar jangan ada lagi yang disalah-gunakan.
Pembentukan BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME (BNPT) jangan hanya basa-basi.
Efektifkan badan anti teror ini dengan melibatkan semua unsur aparat yaitu TNI, POLRI & BIN.
Dokumen rahasia negara dalam kasus-kasus terorisme ( termasuk barang bukti kasus-kasus terorisme) bukan hak milik pribadi dari oknum perwira tinggi tertentu saja didalam internal Polri yang bisa diwariskannya kepada anak, cucu dan cicitnya sendiri.
Rahasia negara adalah rahasia negara.
Rahasia negara adalah milik negara.
Bukan milik orang per orang ( dan bukan milik NENEK MOYANGNYA ! ).
Foto : Ustadz Abu Bakar Baasyir
Menutup tulisan ini, baik rasanya kalau mengutip pepatah lama yaitu “HABIS GELAP, TERBITLAH TERANG”.
Tapi mari diplesetkan saja menjadi, “HABIS VIDEO PORNO, TERBITLAH ABU BAKAR BAASYIR !”.
Polri seakan tak rela jika aib, borok, kesalahan dan dugaan pelanggaran hukum mereka diketahui rakyat Indonesia.
Apalagi sampai dibawa ke muka hukum.
Sehingga … ya itu tadi, “HABIS VIDEO PORNO, TERBITLAH ABU BAKAR BAASYIR”.
Perlukah dibuat slogan baru dalam kaitan penanganan teror yaitu “LANJUTKAN & MARI RAMAI-RAMAI JADI TERORIS !”.
Sebab, kalau menjadi teroris maka bisa mendapat biaya santunan hidup gratis berjuta-juta.
Seperti lirik lagu TAK GENDONG dari MBAH SURIP : Enak to, Mantep to ….
Wih … misi mulia apa itu ?
Enak to, mantep to ( dapat uang berjuta-juta atas nama pembinaan teroris ).
Rekening gendut yang uangnya moncer dari pundi-pundi siapa itu ?
Periksa …
Seret ke pengadilan jika memang ada dugaan tindak pidana korupsi.
Cari untung kok lewat jargon “WAR ON TERROR !”.
(MS)
Mau Pensiun BHD Obral Mutasi, Singkirkan Gories Mere & Densus Kumat Jualan Kecap Teror
Citra Terpuruk, Berlakukan RUU Kamnas Agar Polri Tak Memburuk
Densus Bukan Likuidasi Tapi Ganti Nama, Akal-Akalan Merengek Ke Amerika?
Apa Kata Dunia Ada “Big Mafia” Di Indonesia, Sudah 2 Tahun Mejeng di BNN Copot Gories Mere
Jakarta 8/8/2010 (KATAKAMI) Sejujurnya, keputusan Kapolri melakukan mutasi ( promosi ? ) kepada ratusan orang perwira tinggi dan perwira menengah Polri tanggal 5 Agustus 2010 lalu lewat Keputusan nomor KEP/479/VIII/2010 tidak sah.
Mengapa disebut tidak sah ?
Ya sebab saat ini Jenderal Bambang Hendarso Danuri sudah memasuki Masa Persiapan Pensiun (MPP).
Tiga bulan sebelum seseorang memasuki masa purna bhakti maka diberlakukan penerapan Masa Persiapan Pensiun (MPP).
BHD dilahirkan di Bogor tanggal 10 Oktober 1952. Ia pensiun tepat di hari ulang tahunnya yang ke 58 bulan Oktober mendatang. Tetapi secara admninistrasi, pemberlakukan masa pensiun untuk BHD efektif berlaku tanggal 1 November 2010.
Itu artinya mulai tanggal 1 Agustus 2010 lalu, Jenderal BHD sudah memasuki Masa Persiapan Pensiun (MPP).
Apakah pantas, jika seorang pimpinan yang sudah mau memasuki masa akhir kekuasaan dan kejayaannya dibenarkan menanda-tangani keputusan promosi jabatan kepada siapa saja yang ingin dipromosikannya ?
Memang, Polri memiliki Dewan Wanjak (Kepangkatan & Jabatan).
Foto : Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri
Setiap keputusan untuk melakukan promosi jabatan, kenaikan pangkat atau mutasi bagi jajaran kepolisian, harus melalui proses Wanjak ini.
Tetapi, keputusan akhir dan tanda tangan yang dibutuhkan untuk melegalkan kebijakan promosi atau mutasi tadi ada di tangan Kapolri.
Sehingga akan menjadi sangat rancu, siapa yang pantas dan siapa yang tidak pantas untuk diberikan kesempatan emas promosi jabatan atau mutasi.
Kalau dalam satu TR (Telegram Rahasia) yang dikeluarkan Kapolri dipromosikan dan dimutasikan sedikitnya 500 orang, maka bayangkan berapa ribu orang yang bisa dipromosikan dan dimutasikan oleh BHD sampai nanti ia memasuki masa pensiun ?
Busyet, bisa ribuan orang !
Bagaimana menyeleksi ribuan orang yang seakan kejatuhan durian runtuh kalau sistem permutasian dilakukan tertutup dan sepihak di tangan Kapolri ?
Kritikan ini bukan untuk menghalangi Polri melaksanakan sistem mereka dalam rangka TOUR OF DUTY, TOUR OF AREA.
Tetapi, tidak ada yang bisa memastikan apakah dari semua orang yang dipromosikan dan dimutasikan itu, memang pantas untuk diberi kesempatan emas tersebut.
Ambisi pribadi bisa jadi akan mendominasi setiap penunjukkan Kapolri terhadap para bawahan yang dipilihnya untuk diberi posisi-posisi strategis.
Jangan sampai ada UDANG DI BALIK REMPEYEK eh DI BALIK BATU !
Foto : Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri
Berdasarkan Keputusan Kapolri nomor KEP/479/VIII/2010 itu, nama-nama yang tercantun mendapatkan promosi jabatan, kebaikan pangkat & mutasi antara lain adalah :
1. Kapolda Jawa Tengah dari Irjen Pol Alex Bambang Riatmodjo kepada Irjen Pol Edward Aritonang.
2. Kapolda Jawa Timur dari Irjen Pol Pratiknyo diserahkan kepada Irjen Pol Badrodin Haiti.
3. Kapolda Sulawesi Selatan dari Irjen Pol Adang Rochyana kepada Irjen Pol Waenal Usman.
4. Kapolda Sulawesi Utara dari Brigjen Pol Hertian Aristarkus kepada Kombes Pol Carlo Tewu.
5. Kapolda Bali dari Irjen Pol Sutisna kepada Irjen Pol Hadiatmoko.
6. Kapolda DIY dari Brigjen Pol Sunaryono kepada Brigjen Pol Sutarsa.
7. Kapolda Jambi dari Brigjen Pol Dadang Garhadi Karnasaputra kepada Brigjen Pol Bambang Suparsono.
8. Kapolda Kalimantan Barat Brigjen Pol Erwin PL Tobing kepada Brigjen Pol Sukrawardi Dahlan.
9. Kapolda Sulawesi Tenggara Brigjen Pol Sukawardi Dahlan kepada Brigjen Pol Sigit Sudarmanto.
Sementara, 5 pejabat Mabes Polri yang diganti adalah;
1. Deputi Operasi Kapolri dari Irjen Pol S Wenas kepada Irjen Pol Soenarko.
2. Kadiv Humas Polri dari Irjen Pol Edward Aritonang kepada Brigjen Pol Iskandar Hasan.
3. Kadiv Pembinaan Hukum (Binkum) dari Irjen Pol Badrodin Haiti kepada Brigjen Pol Muji Waluyo.
4. Kadiv Telematika dari Irjen Pol Yudi Sus Hariyanto kepada Brigjen Pol Robert Aritonang.
5. Deputi Logistik (Delog) Mabes Polri dari Irjen Pol Joko Sardono kepada Irjen Pol Uid Sus Hariyanto.
Ini baru nama-nama jajaran perwira tinggi.
Belum termasuk nama-nama perwira menengah.
Tidak ada transparansi dari kebijakan soal promosi jabatan, mutasi dan kenaikan pangkat sebab biasanya akan ditutup-tutupi karena hal semacam ini dianggap sebagai rahasia institusi.
Hal semacam ini bisa menimbulkan kecemburuan sosial dan tudingan diberlakukan sistem “GARAGE SALE” alias obral murah.
Silahkan saja memasukkan hal permutasian ini ke dalam skup rahasia institusi.
Tetapi, masyarakat berhak menuntut transparansi dan asas keadilan bagi pemberlakukan promosi jabatan, kenaikan pangkat dan mutasi.
Jangan sampai ada faktor LIKE OR DISLIKE.
Jangan sampai ada faktor KEDEKATAN atau BALAS BUDI dari Kapolri kepada orang-orang terdekatnya menjelang memasuki masa pensiun.
Polri bukan milik Jenderal BHD seorang.
Disitulah dibutuhkan kontrol sosial dari parlemen, Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) dan (termasuk juga) dari media massa.
Sekali lagi, apakah pantas seorang Kapolri yang sudah memasuki Masa Persiapan Pensiun (MPP) di izinkan membuat kebijakan dan mengeluarkan Surat Keputusan soal promosi jabatan, kenaikan pangkat dan permutasian di jajaran Kepolisian.
Yang ingin disampaikan disini, tegakkanlah asas keadilan kepada semua anggota Kepolisian.
Foto : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Bersuara Tentang Ustadz Abu Bakar Baasyir, Mari Lawan Semua “Terorisme”
Presiden SBY perlu memperhatikan masalah ini sebab POLRI berada langsung dibawah Presiden.
Cegah dan larang Jenderal BHD mengeluarkan lagi Keputusan Resmi soal promosi jabatan, kenaikan pangkat dan atau permutasian di kalangan POLRI pasca keputusan yang dibuatnya baru-baru ini.
Ketegasan Presiden dibutuhkan untuk mencegah RESISTENSI dari kebijakan yang dikeluarkan BHD di masa-masa akhir kekuasaannya sebagai Tri Brata 1.
Iya kalau keputusannya mempromosikan, menaikkan jabatan & memutasikan itu tidak diprotes banyak kalangan.
Bagaimana kalau ada RESISTENSI ?
Baru diumumkan hari Jumat (6/8/2010) saja, sehari kemudiannya sudah diprotes oleh Indonesian Police Watch (IPW) terkait masuknya nama-nama perwira tinggi yang tersandung kasus rekening montok ( baca : Super Gendut ).
“Kami memprotes mutasi perwira Polri baru lalu karena mencederai rasa keadilan masyarakat. Beberapa pemilik rekening gendut mendapat jabatan strategis seperti Kapolda,” ujar Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, kepada detikcom, Sabtu (7/8/2010).
Foto : Neta S Pane (Ketua Presidium IPW)
Lebih lanjut, Neta S. Pane mengatakan juga kepada KATAKAMI.COM bahwa Kapolri BHD memang memanfaatkan keputusan soal MUTASI ini untuk balas budi dan menyenangkan hati orang-orang terdekatnya selama ini.
Mengutip istilah dari Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang disampaikan di hadapan peserta Rakernas PDI Perjuangan baru-baru ini bahwa republik ini sudah menjadi republik KACAU BALAU karena banyaknya tabung gas yang MBELEDOS (meledak), Polri bukannya konsentrasi menangani masalah ini tetapi justru asyik-asyikan mau obrak pangkat dan jabatan.
Apakah itu pantas ?
Hanya dalam hitungan hari, rakyat Indonesia akan memasuki BULAN SUCI RAMADHAN.
Polri bukannya meningkatkan kinerja mereka untuk membuat situasi di tengah masyarakat ini menjadi lebih aman, nyaman, tenteram dan bebas dari TEROR MBELEDOS tadi, ini justru Kapolrinya asyik mau menaikkan pangkat dan jabatan bawahan di detik-detik akhir masa kekuasaannya.
Apakah Saudara Jenderal Bambang Hendarsi Danuri tidak punya SENSE OF CRISIS ?
Hei, buka mata kalian Polri, lihat dan saksikan penderitaan rakyat Indonesia.
Rakyat bertumbangan.
Bermatian.
Foto : Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri
Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri memang tepat sekali menggambarkan bahwa republik ini seakan sudah menjadi republik KACAU BALAU.
Republik Mbeledos ?
Kondisi ini sudah menjadi TEROR yang sangat menghancurkan semua tatanan kehidupan rakyat yang semakin penuh penderitaan berkepanjangan.
Enak-enakan kalian obral pangkat dan jabatan !
Rakyat lagi terteror oleh “TERORIS MBELEDOS” tadi, tiba-tiba Densus 88 Anti Teror “kambuh lagi” seperti tahun lalu yaitu mengeksploitasi penanganan terorisme untuk jadi jualan kecap di media massa.
Densus, Densus, kalian sudah mau dibubarkan, masih juga punya keberanian untuk action disana sini.
Iya kalau yang ditangkap itu memang benar-benar teroris, bagaimana kalau patut dapat diduga semua itu adalah rekayasa belakaka ?
Pakai akal dong kalau mau jualan kecap !
Mari kita analisa dari sisi psikologis terhadap kalangan radikal Islam yang mengatas-namakan jihad untuk melakukan peledakan bom di masa-masa lampau.
Kadar ke-Islaman mereka sesungguhnya sudah baik tetapi mereka kurang tepat dalam menterjemahkan misi dari jihad itu sendiri.
Kalangan radikal islam itu, sudah pasti sedang mempersiapkan diri untuk memasuki BULAN SUCI RAMADHAN.
Bulan yang penuh berkah bagi umat Islam di seluruh dunia.
Tidak akan ada umat Islam yang mau membunuh atau berbuat dosa di BULAN SUCI RAMADHAN (termasuk hari-hari menjelang RAMADHAN).
Marhaban ya Ramadhan.
Ramadhan Kareem.
Umat Islam akan mengumandangkan salam “MARHABAN YA RAMADHAN”.
Selamat datang bulan suci Ramadhan.
Jadi, jangan aneh-anehlah kalian Densus !
Persiapkan saja diri kalian masing-masing menjelang pembubaran resmi.
Dan banyak-banyaklah berdoa agar Presiden AS Barack Hussein Obama berkenan atau bisa bermurah hati memberikan bantuan kepada Polri (sesuai yang diharapkan Polri untuk cikal bakal pembentukan CRISIS RESPOND TEAM, satuan baru yang sedang dilatih di Amerika untuk dibentuk di Indonesia).
Indonesia sudah cukup babak belur dengan semua jualan kecap soal terorisme.
Presiden SBY perlu menyingkirkan Kalakhar BNN Komjen Gories Mere dari Tim Anti Teror Polri sebab dalam struktur organisasinya yang terbaru Badan Narkotika Nasional (BNN) mendadak dibuat menjadi berada dibawah (kendali langsung) Presiden.
Foto : Memoar Ali Imron (terpidana kasus Bom Bali I) yang di anak-emaskan Polri
Memoar Ali Imron Menohok Polri
Kok Indonesia Lindungi Teroris Ali Imron, Contempt of Court ?
Lucu, ada seorang perwira tinggi yang (sudah untung dikasih jabatan) sebagai Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN), tetapi malah nyangsang dalam teknis pelaksanaan tugas-tugas Densus 88 Anti Teror.
Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang terpidana teroris (MUHAMMAD JIBRIL) dalam persidangannya beberapa waktu lalu, Komjen Gories Mere yang memimpin langsung penyiksaan fisik (diantaranya pemukulan brutal, ditelanjangi sampai bugil seratus persen, lalu difoto).
Terpidana teroris itu dipaksa menanda-tangani BAP sesuai kemauan Komjen Gories Mere.
Kalau menolak maka foto-foto bugil dalam keadaan babak belur (setelah di hajar Densus) diancam akan disebar-luaskan.
Pria flores yang patut dapat diduga terlibat dalam pembekingan Bandar Narkoba Liem Piek Kiong alias MONAS ini masih saja ikut melakukan investigasi dan penyidikan kasus-kasus terorisme.
Hei Gories Mere, anda pikir anda siapa ?
Anda pikir, anda jagoan paling hebat di negara ini sehingga anda merasa berhak menganiaya siapapun hingga babak belur dan wajib mengikuti kemauan anda dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus-kasus terorisme ?
Tahu diri dong sedikit !
Jabatan anda di BNN saja, sudah pantas untuk diganti.
Anda sudah terlalu lama bercokol di BNN dan tidak ada prestasi yang maksimal.
Tidak usah anda siksa kalangan umat Islam atas nama penanganan terorisme.
Tugas utama anda di BNN, justru tidak anda laksanakan.
Anti Klimaks HANI, Datuk Gories Mere Siapkah Ditolak Ulama Islam Lagi ?
Penuhi janji BNN untuk menangkap kembali Bandar Narkoba (tingkat internasional) Liem Piek Kiong yang patut dapat diduga sudah diloloskan dari jerat hukum sebanyak 3 kali berturut-turut.
Dengan kata lain, perwira tinggi yang pernah dikaitkan juga namanya dengan dugaan PENCURIAN barang bukti narkoba 13,5 sabu tahun 2006, sudah saatnya disingkirkan dari BNN dan Tim Anti Teror Polri.
Ia sudah diberi kesempatan menduduki jabatan di BNN selama 26 bulan atau 2 tahun 2 bulan.
Tidak pantas, seorang Jenderal bintang 3 ikut campur di lapangan melakukan penyidikan dan apalagi sampai ikut memerintahkan penyiksaan fisik kepada tersangka.
Patut dipertanyakan, kalau ada polisi sebrutal ini, apakah ia memang seorang polisi atau MAFIA BAR BAR yang menyamar jadi Polisi ?
Rakyat Indonesia sudah TERTEROR oleh TRAGEDI MBELEDOS beberapa bulan terakhir ini.
Masak rakyat mau diteror lagi ?
Jangan ganggu umat Islam di negara ini untuk memasuki bulan suci Ramadhan dengan hati yang tenang.
Ya, Marhaban Ya Ramadhan, selamat datang bulan suci Ramadhan.
Hendaklah rahmat dan berkah menjelang bulan suci Ramadhan ini diberikan Tuhan kepada jajaran Kepolisian Indonesia ini supaya jangan semaunya dalam bertindak dan bertugas.
Jangan sok baik hati mengobral pangkat dan jabatan.
Jangan sok hebat dan haus pemberitaan sehingga jualan kecap (lagi) soal kasus terorisme.
Cape deh.
Mual rasanya kalau aparat di negeri ini bertindak semaunya sementara rakyat hidup dibawah tekanan dan teror kehidupan yang berkepanjangan.
Ibarat sedang bersedih hati menyaksikan penderitaan rakyat Indonesia, teringatlah kita dengan gaya penjaja barang obralan di pasar-pasar tradisional, “Seribu Tiga Seribu Tiga”.
Alamak, ngeri kali !
(MS)